TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan khusus untuk bidang fashion dan produk turunannya, Kredit Usaha Rakyat atau KUR yang digelontorkan pemerintah pada periode Januari-September 2019 sebesar Rp 1,13 triliun. Nilai itu, kata dia, disalurkan kepada 45,1 ribu debitur.
Penyaluran tertinggi berada di sektor industri pakaian jadi dan perlengkapan sebesar Rp 770 Miliar atau sebesar 67,6 persen dari total penyaluran. “KUR ke depannya akan semakin masuk ke bidang jasa, tidak hanya di sektor produksi atau pertanian saja,” kata Darmin di Gedung Smesco, Jakarta, 16 Oktober 2019.
Baca Juga:
Darmin mengatakan akses keuangan dan permodalan diberikan pemerintah salah satunya dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat. Sejak diluncurkan skema KUR subsidi bunga pada 2015, total akumulasi KUR yang telah disalurkan hingga 31 Agustus 2019 sebesar Rp 435,4 triliun.
Nilai itu diberikan kepada 17,5 juta debitur dengan rasio kredit macet (non performing loan/NPL) tetap terjaga sebesar 1,31 persen. Menurut dia, NPL itu lebih baik dari NPL kredit secara nasional.
Adapun proporsi debitur KUR berdasarkan gender didominasi laki-laki sebesar 65 persen, sedangkan perempuan 35 persen dari data SIKP 2017.
Selain KUR, pemerintah juga memiliki Program Mekaar, Ultra Mikro (Umi) dan Program Kemitraan Ekonomi Umat untuk pembiayaan usaha mikro. Program Mekaar yaitu pemberdayaan berbasis kelompok bagi perempuan pra sejahtera pelaku usaha super mikro. Plafon pinjamannya antara Rp 2 juta hingga Rp 5 juta dan ini diberikan secara bertahap tanpa agunan.
Ultra Mikro (UMi), kata dia, yaitu program lanjutan dari program bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang sulit memperoleh akses kredit perbankan. Plafon maksimal Rp 10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank. Konsep pembiayaan UMi yaitu dengan pembentukan kelompok dan pendampingan untuk memfasilitasi masyarakat yang tidak memiliki agunan.
Sementara, Program Kemitraan Ekonomi Umat (PKEU), yakni program kemitraan antara umat (kelompok masyarakat yang tinggal di pondok pesantren, di sekitar pondok pesantren maupun masyarakat umum, khususnya UMKM) dengan kelompok usaha besar.
Darmin mengatakan mengenai kebijakan pengembangan vokasi, sampai dengan 2024 fokus pemerintah adalah merevitalisasi tiga layer lembaga vokasi. Tiga layer tersebut adalah Politeknik untuk menyiapkan tenaga kerja high level thinking, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk menyiapkan tenaga kerja level operator dan Balai Latihan Kerja (BLK) untuk memberikan pelatihan bagi angkatan kerja berpendidikan rendah, re-skilling bagi tenaga kerja terdampak krisis ekonomi atau otomatisasi, serta up-skilling agar angkatan kerja mampu beradaptasi dengan teknologi baru.
Hal ini harus dilakukan secara komprehensif dari hulu sampai hilir. Dimulai dengan mereformasi lembaga vokasi melalui penyesuaian kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan industri, memperbanyak tenaga pengajar produktif melalui Training of the Trainer (ToT), hingga memperbaiki sistem sertifikasi dan meningkatkan kualitas akreditasi lembaga vokasi.
“Pemerintah juga telah mengeluarkan aturan Super Deduction Tax Incentive bagi industri yang ikut mengembangkan vokasi. Yaitu insentif pengurangan pajak hingga 200 persen. Dengan begitu diharapkan lebih banyak industri yang mendorong pemberdayaan perempuan dengan meningkatkan skill mereka,” kata Darmin.