TEMPO.CO, Jakarta - Selama lima tahn pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi terus meningkat. Meski tercatat terus meningkat, investasi di Indonesia bukannya tanpa masalah.
Dikutip dari Bisnis, Rabu 16 Oktober 2019, masalah pertama di bidang investasi adalaj pertumbuhan realisasi investasi yang terus melambat. Hal ini sangat tampak pada data realisasi investasi per 2018.
Investasi di Indonesia hanya tumbuh 4,1 persen pada 2018 dibandingkan dengan 2017. Lebih lanjut, pada 2018 juga tercatat bahwa pertumbuhan PMA mengalami pertumbuhan negatif sebesar -8,8 persen.
Pertumbuhan realisasi investasi per 2018 disokong oleh PMDN di mana kala itu berhasil tumbuh sebesar 25,3 persen. Realisasi PMDN juga tercatat melampaui target di mana realisasi PMDN tercatat sebesar Rp328,6 triliun, 114,3 persen dari target yang sebesar Rp287,6 triliun.
Kedua, sektor yang diminati investor juga tampak mulai bergeser dari sektor yang diprioritaskan pemerintah. Pergeseran investasi dari sektor industri manufaktur ke sektor jasa pun berkorelasi dengan penyerapan tenaga kerja yang menurun.
Seperti diketahui, pemerintah menginginkan agar penanaman modal masuk ke sektor industri manufaktur yang padat karya agar mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi serta membuka lapangan kerja baru. Namun, data BKPM justru menunjukkan bahwa investor semakin tertarik untuk berinvestasi di sektor jasa ketimbang kepada sektor industri manufaktur.
Pada 2014 hingga 2016, industri manufaktur masih tercatat menyerap investasi paling banyak dengan komposisi sebesar 43 persen hingga 54,8 persen dari keseluruhan realisasi investasi.
Memasuki 2018, investasi pada sektor jasa justru kian mendominasi di mana pada kala itu tercatat realisasi investasinya mencapai Rp367 triliun atau 50,9 persen dari keseluruhan investasi pada 2018. Bahkan, per semester I/2019, sektor jasa pun kian dominan dengan realisasi investasi mencapai Rp223,5 triliun atau 56,5 persen dari keseluruhan investasi.
Ketiga, incremental capital output ratio (ICOR) tercatat masih pada angka 6,3 pada 2018, lebih tinggi dibandingkan dengan pesaing Indonesia pada level global seperti India dan Vietnam yang mencatatkan ICOR masing-masing sebesar 4,64 dan 4,31. Hal ini menunjukkan bahwa secara makro investasi di Indonesia masih tidak efisien.
Terkait dengan ICOR, ekonomi senior Indef Faisal Basri mengungkapkan bahwa tingginya ICOR disebabkan oleh banyak investasi yang tidak berkualitas di mana industri hasil investasi hanya memanfaatkan sedikit dari kapasitas produksinya ketika beroperasi.
Menurut Faisal, hal inilah yang selama ini cenderung tidak diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah hanya cenderung mengundang PMA untuk masuk dan berinvestasi ke Indonesia tanpa mempertimbangkan daya ungkitnya ke perekonomian nasional.
"ICOR itu enggak diperhatikan tapi yang penting asing datang. Asing tidak akan mau datang kalau yang di sini sengsara," ujar Faisal, Selasa 15 Oktober 2019.
Pada 2014, data BKPM menunjukkan, investasi baik penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat mencapai Rp463,1 triliun dengan PMA sebesar Rp307 triliun dan PMDN sebesar Rp156,1 triliun.
Per semester I/2019, di akhir masa pemerintahan Jokowi-JK, realisasi investasi tercatat mencapai Rp395,6 triliun dengan PMA mencapai Rp212,8 triliun dan PMDN sebesar 182,8 triliun. Investasi pada semester I/2019 tercatat tumbuh 9,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.