TEMPO.CO, Jakarta - Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir, Bank Sentral Singapura memutuskan untuk melonggarkan kebijakan moneternya. Langkah ini dilakukan di tengah upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negeri Singa yang melambat.
Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) hari ini, Senin 14 Oktober 2019, memutuskan mengurangi sedikit laju apresiasi rentang nilai mata uangnya. Berbeda dengan negara lain yang menggunakan suku bunga acuan sebagai alat kebijakan moneter, Bank Sentral Singapura memilih untuk menggunakan nilai tukar sebagai instrumen moneter. Otoritas ini diketahui mengelola kebijakan moneternya dengan mengendalikan nilai tukar dolar Singapura terhadap sekumpulan mata uang negara mitra dagang utamanya.
“MAS akan terus memonitor perkembangan ekonomi dan siap untuk mengkalibrasi ulang kebijakan moneter jika prospek inflasi dan pertumbuhan melemah secara signifikan,” terang Bank Sentral Singapura tersebut dalam sebuah pernyataan, dilansir melalui Bloomberg, Senin.
Menyusul keputusan soal kebijakan moneter, nilai tukar dolar Singapura menguat 0,1 persen menjadi level S$1,3719 terhadap dolar AS pada pukul 08.38 waktu Singapura. Mayoritas ekonom dalam survei Bloomberg telah memperkirakan langkah MAS tersebut, sementara sisanya memprediksikan langkah pengurangan slope yang lebih agresif menjadi nol.
Melalui laporan terpisah, data menunjukkan produk domestik bruto (PDB) Singapura rebound setelah berkontraksi pada kuartal kedua. PDB negeri ini bertambah 0,6 persen secara tahunan pada kuartal III/2019 dari periode tiga bulan sebelumnya.
Meski demikian, raihan itu lebih rendah dari perkiraan median sebesar 1,2 persen dalam survei ekonom Bloomberg. Adapun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, PDB pada kuartal III naik 0,1 persen atau tidak berubah dari kuartal kedua.
“Angka PDB, meskipun mengurangi resesi teknis, tidak membuat data terlihat optimistis,” ujar Wisnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi di Singapura. “Resesi manufaktur berlanjut. Prospeknya sangat kabur, jika tidak suram.”
Menurut MAS, pertumbuhan Singapura diperkirakan akan meningkat secara bertahap tahun depan, meskipun proyeksi ini tunduk pada ketidakpastian yang cukup besar di lingkungan eksternal.
Para pembuat kebijakan bank sentral di seluruh dunia mengambil sikap lebih lunak. Sebab, ketegangan antara Amerika Serikat dan Cina selama lebih dari setahun belakangan telah membebani pertumbuhan dan manufaktur yang mengancam meluas ke sektor jasa.
BISNIS