TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia tinggal merampungkan diskusi teknis dengan Singapura agar dapat mengambil alih pengelolaan sejumlah blok udara penerbangan (Flight Information Region/FIR) di kawasan Kepulauan Riau.
Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan, Asri Santosa, mengatakan kedua negara harus merincikan kesiapan sumber daya sebelum mengalihkan lalu lintas yang kini dipegang otoritas Singapura. "Ada tahapan tertentu untuk peralihan tersebut," katanya kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Jika sudah diambil Indonesia, ucap Asri, pengelolaan pesawat domestik yang melintasi FIR sepanjang 100 mil laut atau setara 1.825 kilometer bakal lebih ringan. "Melapornya tak perlu pindah-pindah."
Kontrol navigasi langit Kepulauan Riau diserahkan ke Singapura oleh Otoritas Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sejak 1946. Lantaran tak mengacu pada teritori negara, hak kelola FIR dapat didelegasikan. Kala itu, Singapura ditunjuk ICAO karena peralatan Indonesia belum memadai.
Area FIR itu terdiri dari tiga blok yang mencakup sebagian besar wilayah Kota Batam dan Tanjung Pinang, Kabupaten Karimun, termasuk Kepulauan Natuna. Alih kelola ini sempat digeber pemerintah pada 1993, namun belum disetujui ICAO. Kabar peralihannya mencuat lagi usai pertemuan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Selasa pekan lalu.
Tanpa merincikan jumlah rute dan volume penerbangan di FIR tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Nur Isnin Istiartono, memastikan setoran jasa navigasi dari maskapai tetap mengalir ke Indonesia. Disepakati dalam Konvensi Chicago pada 1994, Singapura memungut jasa layanan (rans charge), namun disetor ke Tanah Air, berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak.
"Cuma besaran berapa ratus milliar setahunnya saya tidak hafal," ucapnya saat ditanyai Tempo.
Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut kerangka kesepakatan pengalihan sudah dibuat pada 12 September 2019, disusul pertemuan tim teknis kedua negara 25 hari setelahnya. "Tinggal bereskan yang teknis, seharusnya tak banyak lagi," tuturnya.
Sekretaris Perusahaan Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau AirNav, Novy Pantaryanto, mengatakan berbagai peralatan penunjang layanan udara sudah disiapkan untuk menangani rute FIR Kepulauan Riau. Airnav, kata dia, sudah membangun infrastruktur penyokong selama dua tahun terakhir.
"Sumber daya manusia, peralatan, serta standar pelayanan berupa prosedur sudah siap," ucapnya.
Layanan untuk lintasan yang ketinggiannya kurang dari 20 ribu kaki dioperasikan dari basis Airnav di Tanjung Pinang. "Yang lebih tinggi bisa dari Jakarta," kata Novy. "Lengkap, mau sistem Automatic Dependent Surveillance - Broadcast (ADS-B) atau kebutuhan performanca based navigation, kami ready."
Presiden Direktur Aviatory Indonesia, Ziva Narendra Arivin, menyarankan peningkatan edukasi awak navigasi Indonesia agar bisa menyamai standar management FIR di berbagai negara besar. "Termasuk investasi peralatan. Meski mahal, tapi untuk mengurangi titk buta di lingkup udara kita."
Adapun Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie, menilai alih kelola FIR Kepulauan Riau hanya terkait pemindahan layanan dan tak berdampak pada keuntungan negara dalam hal ekonomi. "Cuma soal gengsi kok."
FRANSISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS PAE DALE