TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan menyatakan rasio kredit macet pinjaman online 3,06 persen masih dalam batas wajar. Menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi rasio tersebut tidak berbahaya.
"Tidak bahaya, ini sangat logis, karena jumlah peminjam dan nilai peminjaman terus meningkat, masa iya NPL malah menurun?" kata dia di kawasan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019.
Menurutnya, salah satu penyebab dari naiknya angka kredit macet adalah meningkatnya jumlah peminjam baru yang naik setiap tahunnya. Sehingga jika OJK memberikan batas NPL, maka pelaku usaha akan memberikan uangnya secara selektif kepada peminjam. "Jika ingin berekspansi maka harus ambil risiko," katanya.
Menurut catatan OJK, sampai Agustus 2019 sudah ada 12,8 juta entitas rekening peminjam atau naik 194 persen year to date. Adapun jumlah transaksi yang telah disalurkan pinjaman online adalah Rp 54,71 triliun bertumbuh 141,4 persen.
Hendrikus menjelaskan, bahwa daya ukur tersebut memang relevan bagi dunia perbankan, karena setiap uang yang hilang maka pihak bank harus menggantinya. "Sedangkan fintech lending dilarang memberi jaminan dalam bentuk apapun, jadi jika ada rupiah yang macet maka lender yang menanggung," kata dia.
Baca Juga:
Sehingga Hendrikus mengatakan, bahwa bisnis pinjaman online ini berisiko, karena yang menanggung adalah penyelenggara. "Artinya jika lender (pemberi pinjaman) memutuskan masuk, maka risikonya ada pada anda. Tapi bagi OJK tugas akan lebih ringan, karena lender tahu risikonya maka otomatis akan melakukan assessment," katanya.
Dia menjelaskan bahwa pinjaman online merupakan bisnis model yang berasal dari masyarakat, untuk masyarakat. "Artinya, biar masyarakat yang memutuskan. Ketika OJK mengatakan tingkat bunga hanya boleh 2 persen, kira-kira mau tidak meminjamnkan bunga 2 persen, sementara yang meminjam itu risiko tinggi. Tidak mau kan?" ujarnya.
Untuk itu Hendrikus menuturkan, bahwa pinjaman online adalah bisnis kerakyatan, dan pihaknya membiarkan masyarakat yang menentukan tingkat bunga yang diinginkan, serta untuk apa pinjaman tersebut digunakan.