Ketiga, negara di kawasan ini semakin rentan akibat resiko perubahan pada kondisi keuangan global. Menurut Andrew, mata uang di negara-negara berkembang kembali tertekan karena investor menyeimbangkam portofolio mereka dengan aset tradisional seperti obligasi US Treasury alias obligasi Amerika Serikat.
Dalam situasi ini, negara berkembang akan terus menaikkan imbal hasil obligasinya untuk mengimbangi US Treasury. “Ini berdampak pada berkurangnya pertumbuhan kredit dan dalam jangka panjang, investasi dari pihak swasta,” kata dia.
Keempat, yaitu meningkatnya utang di sejumlah negara yang memberi tekanan pada kebijakan fiskal dan moneter. Andrew mengatakan, negara dengan utang domestik yang tinggi akan cenderung melonggarkan suku bunga acuan mereka.
Catatan Bank Dunia, pemerintah Cina telah melonggarkan kredit untuk mendukung pertumbuhan perusahaan di tengah ancaman utang ini. Sementara di Malaysia dan Thailand, pemerintah setempat menggunakan kebijakan makroprudensial untuk mengelola utang mereka.