TEMPO.CO, Jakarta - World Bank atau Bank Dunia memperingatkan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik bahwa risiko penurunan pertumbuhan di kawasan tersebut semakin meningkat. Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Andrew Mason, mengatakan beberapa tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi negara di kawasan ini akan terus merosot hingga 0,7 persen
“Pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik diproyeksikan melambat dari 6,3 persen pada 2018, menjadi 5,8 pada 2019,” kata Andrew dalam video conference di Kantor Pusat Bank Dunia Indonesia di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019.
Andrew menambahkan, pertumbuhan ekonomi di kawasan itu diproyeksi terus merosot menjadi 5,7 persen pada 2020 dan 5,6 persen pada 2021. Adapun gejala penurunan ini telah tampak pada semester pertama 2019.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik hanya mencapai 6 persen (year-on-year/yoy), lebih rendah dari semester pertama 2018 yang mencapai 6,3 persen. Menurut Andrew, melemahnya permintaan global ini akibat ketidakpastian kebijakan perdagangan telah berkontribusi pada penurunan pertumbuhan ini.
Secara garis besar, Andrew menjelaskan ada empat faktor yang membuat risiko penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di kawasan ini. Pertama yaitu meningkatnya tensi perang dagang antara Cina dan Amerika. Situasi ini akan membuat pola perdagangan dunia berubah karena beberapa perusahaan merelokasi perusahaan keluar dari Cina untuk menghindari tarif dari Amerika Serikat
Namun persoalannya, negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik justru menghadapi keterbatasan infrastruktur untuk bisa menggantikan peran Cina dalam suplai barang ke Amerika. Sehingga dalam jangka pendek hingga menengah, beberapa negara akhirnya tetap tidak bisa menggantikan Cina dan rantai perdagangan global.
Kedua, melambatnya pertumbuhan di Cina, Eropa, Amerika Serikat, dan fenomena Brexit atau British Exit. Menurut Andrew, melambatnya pertumbuhan tersebut telah membuat ekspor negara Asia Timur dan Pasifik ikut tertekan. Bank Dunia mencatat tekanan pada ekspor ini telah terjadi sejak awal 2018.