TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau AFPI Kuseryansyah mengatakan terdapat celah atau gap pendanaan sebesar Rp 1.000 triliun yang tidak bisa dipenuhi oleh perbankan. Karena baru sekitar Rp 600 triliun yang dapat ditangkap oleh lembaga keuangan konvensional.
"Data IMF (International Money Fund) bahwa di Indonesia itu ada credit gap dari Rp 1.600 triliun, bank hanya penuhi Rp 600 triliun dan Rp 1000 triliun itu kosong. Lantas Rp 1000 triliun itu enggak bisa dilayani, tetap terbuka dan makin lebar. Bank enggak bisa masuk karena kategorinya unbanked (tidak dijangkau perbankan)," kata dia di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 8 Oktober 2019.
Menurut Kuseryansyah, data credit gap Indonesia itu dilansir IMF pada 2016. Dan Indonesia berada di urutan setelah Cina dan India. Ia mengatakan, masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah dengan UMKM banyak yang tidak bisa menggunakan fasilitas perbankan, antara lain karena pelaku UMKM tidak bisa memenuhi aturan perbankan.
Ditambah lagi kurangnya literasi perbankan dan sulitnya untuk menjangkau kelompok masyarakat tersebut.
Dengan adanya perkembangan teknologi, pria yang akrab disapa Kus ini mengungkapkan, celah tersebut sudah mulai bisa diisi oleh financial technology (fintech) dengan keunggulan teknologi menggunakan data alternatif berupa credit scoring untuk menjangkau semua lapisan masyarakat.
"Rp 1000 triliun yang dianggap sebagai belantara, sekarang mulai termapping. Ada yang mapping pake e-commerce, data pemerintah dan lain-lain," ujarnya.
Dia memperkirakan kekosongan tersebut hingga akhir tahun baru bisa tertutupi sebanyak Rp 40 triliun atau paling tinggi Rp 44 triliun. Untuk itu, kata Kuseryansyah, perusahaan fintech akan ikut berpartisipasi untuk mengisi kebutuhan pendanaan tersebut.
"Tantangannya, kita kolaborasi bagaimana credit gap yang tinggi itu, kita bisa punya lender yang bervariasi yang dapat memenuhi itu," ungkap dia.
Agar celah tersebut bisa diisi, Kus menuturkan, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK selaku lembaga regulator fintech perlu membuat proses perizinan yang lebih cepat tanpa mengabaikan kualitas agar kepercayaan masyarakat semakin meningkat kepada fintek.
"Sekarang ada 127 fintech yang terdaftar dan mengantre perizinan semua. Sedangkan yang baru dapat izin kan tujuh fintech. Ini kalau tidak ada akselerasi nanti kita khawatir batal naik," kata dia.
Adapun solusi kedua, kata dia, dari sisi penyelenggara bukan hanya perlu ditambah jumlahnya, tapi kemampuan dari masing-masing penyelenggara untuk menyalurkan kreditnya ke seluruh Indonesia.