TEMPO.CO, Jakarta - Cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2019 turun US$ 2,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya US$ 126,4 miliar. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Bhima Yudhistira Adinegara menilai pemerintah harus mengatasi turunnya cadangan devisa.
"Cadangan devisa bulan September yang mengalami penurunan perlu menjadi perhatian karena tekanan dari sisi arus modal portfolio mulai berkurang," kata Bhima melalui pesan singkat kepada Tempo, Senin, 7 Oktober 2019.
Hal yang memengaruhi penurunan cadangan devisa menurut Bhima ada dua, yakni eksternal dan internal yang sama-sama berpengaruh. "Seperti faktor eksternal terdiri dari ketidakpastian perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Lalu isu resesi dan instabilitas geopolitik di Hongkong juga memengaruhi kepercayaan investor portfolio untuk masuk ke negara berkembang," ujarnya.
Jika sebelumnya Pemerintah mengandalkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk mendorong masuknya devisa, Bhima menuturkan kondisi sekarang makin menantang. Sebabnya setelah penurunan suku bunga obligasi juga berdampak terhadap penurunan.
Dari dalam negeri, kata Bhima, belum ada perbaikan yang signifikan dari sisi kinerja neraca dagang. Hal ini disebabkan oleh rendahnya ekspor yang disebabkan harga komoditas unggulan seperti karet, sawit dan batubara belum pulih.
"Sementara tekanan impor mungkin meningkat seiring harga minyak dunia yang naik dan persiapan stok BBM jelang akhir tahun," ungkap dia.
Dia memperkirakan, cadangan devisa akan terus terkoreksi hingga akhir tahun dikisaran US$ 120 miliar sampai US$ 123 miliar. Dengan turunnya cadangan devisa, akan mempengaruhi kesiapan BI untuk menstabilkan kurs rupiah bila kondisi ekonomi global terus memburuk.
Guna menggenjot cadangan devisa Indonesia, Bhima menyarankan pemerintah mendorong ekspor ke negara alternatif seperti Eropa Timur, Afrika yang mempunyai prospeknya masih positif. "Lalu jaga stabilitas politik dan keamanan khususnya jelang pelantikan presiden dan kabinet," ujarnya.
Bhima juga menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan sektor pariwisata untuk perkuat devisa jasa. "Perbanyak event event internasional dan dorong promosi wisata," ujar Bhima.
Selanjutnya, Bhima meminta Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan pemerintah dan swasta terkait agresifitas penerbitan utang khususnya dalam bentuk valas. Menurutnya, utang yang tidak terukur bisa berakibat blunder karena dibutuhkan mata uang dolar yang banyak guna membayar kewajiban bunga dan cicilan pokok utang.