TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mendorong pemerintah melakukan diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor untuk mengantisipasi resesi ekonomi. "Resesi akan terjadi besar kemungkinan di dua negara yang terlibat perang dagang," katanya di Jakarta, Senin, 7 Oktober 2019.
Kedua negara yang mungkin mengalami resesi itu adalah Amerika Serikat dan Cina yang merupakan mitra dagang besar Indonesia. Oleh karena itu, komoditas perkebunan dan tambang dari Indonesia perlu diekspor ke negara-negara nontradisional seperti Afrika dan Amerika Latin.
Sementara itu, produk yang diekspor perlu mulai beralih ke komoditas non-Sumber Daya Alam (SDA). Kalaupun masih mengandalkan SDA, investasi di industri pengolahan atau hilirisasi perlu ditingkatkan.
Andry menjelaskan, Cina banyak mengimpor komoditas perkebunan dan tambang yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia. "Indonesia akan mengalami perlambatan perekonomian juga akibat adanya ini (resesi)," katanya. Berbeda dengan Cina, Amerika Serikat kebanyakan mengimpor kebanyakan produk tekstil Indonesia.
Untuk itu, Andry mengingatkan Indonesia perlu berbenah dengan industri tekstilnya jika ingin mengambil momentum, karena di saat yang bersamaan tekstil dari Cina akan dikenakan bea impor tinggi oleh Amerika Serikat. "Tentu itu semua harus didukung dengan kondisi makro ekonomi perlu dijaga agar tetap stabil."
Lebih jauh Andry menjelaskan, diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor perlu ditingkatkan karena resesi diperkirakan berasal dari sektor riil yang mempengaruhi perdagangan. Tapi Indonesia dinilai tidak perlu khawatir karena kontribusi sektor perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk rendah di Asia Tenggara. "Mungkin ini di satu sisi sangat buruk, tapi juga menyelamatkan kita dari beberapa krisis, salah satunya krisis 2008," katanya.