TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat atau Organda meminta pemerintah mengusut tuntas perkara penyelewengan Solar bersubsidi yang membuat jebolnya kuota BBM bersubsidi itu. Sekretaris Jenderal Organda Ateng Haryono mengatakan, pengusutan diharapkan dapat memberikan kepastian aktivitas di hilir seperti di sektor transportasi/angkutan.
"Kami dengar dari BPH Migas sendiri, kuota yang sudah dipersiapkan habis, karena penyimpangan dalam pendistribusian. Silakan diusut sehingga tidak mengganggu di sektor transportasi yang di ujung seperti kami," katanya kepada Bisnis.com, Kamis 3 Oktober 2019.
Pengusaha transportasi dan logistik hanya berharap Solar kembali tersedia di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dengan kualitas yang sesuai. "Artinya, kami sebagai konsumen dapat solar mutu baik di seluruh Indonesia," kata Ateng.
Selain itu, Ateng juga meminta kepastian harga. Pelaku usaha kesulitan ketika tidak ada kepastian harga Solar. Menurutnya, lebih baik perbedaan harga ini dihilangkan saja, sehingga tidak terjadi potensi penyelewengan.
Sebagai pengguna, kata Ateng, Organda tinggal menyesuaikan harga Solar dengan biaya produksinya sehingga akan terjadi penyesuaian tarif kepada masyarakat, baik untuk transportasi penumpang maupun barang.
Sebelumnya, Organda sempat mengajukan keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas ketidaksesuaian surat edara (SE) dari Badan Pengelola Hilir (BPH) Migas dengan Perpres No. 191/2014. "Kami sempat mengajukan keberatan kepada Presiden sudah ada Perpres bahan bakar jenis tertentu yakni Perpres No.191/2014. BPH Migas diatur penugasannya, atur distribusi di hilir, tiba-tiba keluarkan ketentuan seolah-olah beda dengan penugasan dia," kata Ateng.
Sebelumnya, BPH Migas mencabut surat edaran tentang pengendalian kuota jenis bahan bakar minyak tertentu 2019. Usulan pencabutan Surat Edaran No. 3865/Ka BPH/2019 datang dari keputusan hasil rapat pimpinan Kementerian ESDM pada 27 September 2019.
Dalam kesimpulan rapat tersebut disebutkan, untuk menjaga stabilitas di masyarakat, rapim meminta BPH Migas mencabut surat edaran tersebut. Kesimpulan ini merujuk ketidakmampuan PT Pertamina (Persero) untuk menyalurkan solar nonsubsidi di setiap lembaga penyalur (SPBU) sebagai substitusi atas jenis BBM tertentu (JBT) jenis minyak solar.
Kuota Solar bersubsidi tahun ini secara nasional sebanyak 14,5 juta kiloliter (KL) atau lebih kecil dibandingkan dengan 2018 sebanyak 15,62 juta KL dengan realisasi sebanyak 15,58 juta KL. Sementara itu, realisasi penyaluran Solar bersubsidi per 25 September 2019 sudah mencapai 11,67 juta KL atau 80,46 persen dari kuota. Normalnya, realisasi per 25 September 2019 seharusnya sekitar 73,42 persen dari kuota.