Hingga Juni 2019, Krakatau Steel tercatat memiliki utang konsolidasi senilai US$ 2,07 miliar. Mayoritas utang jangka pendek itu merupakan pinjaman yang diperoleh dari pihak bank, yang di antaranya berbentuk letter of credit impor (LoC) dan kredit modal kerja.
Adapun untuk kasus gagal bayar Duniatex Group, lembaga keuangan yang terlibat di dalamnya di antaranya yang terbesar adalah LPEI dengan eksposure senilai Rp 3,04 triliun, Bank Mandiri Rp 2,7 triliun, BRI sebesar Rp 1 triliun, dan BNI senilai RP 459 miliar. Terakhir, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap enam entitas usaha Duniatex Group dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Semarang.
Dengan putusan itu, Duniatex Group wajib merestrukturisasi seluruh utangnya kepada kreditor yang terdaftar di muka pengadilan. Merespons hal tersebut, Direktur Korporasi BNI Putrama Wahyu Setiawan menuturkan, hingga saat ini, pihaknya masih menunggu pendaftaran tagihan Duniatex Group untuk kemudian disiapkan opsi restrukturisasinya. “Pada prinsipnya tagihan harus didaftarkan, dan mengenai skemanya kami akan pelajari setelah mereka menyampaikannya dalam PKPU tersebut,” kata dia.
Selain adanya sejumlah kasus gagal bayar korporasi besar itu, situasi pelemahan ekonomi global yang kemudian berdampak pada kinerja korporasi dalam negeri juga ditengarai menjadi penyebab melonjaknya tren NPL perbankan. Hal itu diungkapkan oleh Lembaga pemeringkat utang internasional, Moody’s Investor Service, dalam laporan berjudul “Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen” (Koran Tempo edisi Kamis, 3 Oktober 2019: “Risiko Gagal Bayar Utang Swasta Meningkat”).
Presiden Direktur PT Mayapada International Tbk, Hariyono Tjahjarijadi, membenarkan adanya pelemahan kinerja korporasi dalam negeri yang sudah dirasakan oleh sektor perbankan. “Pelemahan itu bahkan terjadi praktis hampir di semua industri,” kata dia. Adapun Bank Mayapada hingga akhir tahun berkomitmen untuk menjaga tingkat NPL pada level 3 persen.
ALI NUR YASIN