TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subdirektorat Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Andri Budhiman Firmanto mengatakan keputusan pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor nikel berkaitan dengan momentum untuk menyambut perkembangan industri kendaraan listrik.
"Saya bilang momentum tidak akan pernah kembali dua kali, jadi ketika ada momentum tepat, pemerintah harus antisipasi," ujar dia di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2019.
Firmanto cemas pemerintah kehilangan peluang mengembangkan industri baterai nasional ketika ekspor nikel terus berjalan dan industri kendaraan listrik berdiri di Cina.
Padahal, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengembangkan industri baterai kendaraan listrik karena bahan bakunya tersedia melimpah di Indonesia. "Momentum itu tidak mungkin dua kali."
Secara umum, ujar Andri, negara-negara di dunia termasuk Indonesia terus berupaya untuk menggantikan kendaraan dengan bahan bakar fosil dengan kendaraan listrik. Untuk Indonesia, ditargetkan 20 persen penggunaan kendaraan listrik dari pangsa pasar pada tahun 2025.
Berdasarkan kajian Kemenko Bidang Kemaritiman, ia mengatakan 40 persen dari total biaya manufaktur mobil listrik adalah dari baterai. Baterai kendaraan listrik menggunakan tipe baterei lithium ion dengan bahan baku katodanya adalah Nikel, Cobalt, Lithium, Mangan, dan Aluminium.
"Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai bahan baku terbaik di dunia untuk memproduksi baterai lithium ion, yaitu bijih nikel kadar rendah atau disebut limonite dengan kandungan nickel dan cobalt yang tinggi," kata Andri. Dengan menggunakan teknologi Hydrometalurgy HPAL (High Pressure Acid Leaching) bijih nikel kadar rendah dimurnikan menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate, Nickel Sulfat dan Cobalt Sulfat sebagai bahan baku precursor.