Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman berujar berdasarkan pantauan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), utang korporasi swasta saat ini masih terbilang normal. Terlebih, Bank Indonesia yang juga anggota komite, telah memiliki aturan kewajiban transaksi lindung nilai (hedging) untuk meminimalisasi risiko pinjaman dalam bentuk valas. Kewajiban tersebut menurut dia sudah cukup efektif untuk memitigasi risiko gagal bayar utang korporasi. “Itu sudah terkontrol,” katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menuturkan di tengah gejolak perekonomian global dan domestik saat ini, pelaku usaha perlu berhati-hati dalam melakukan pinjaman. “Apa pun yang sudah disampaikan oleh lembaga-lembaga pemeringkat adalah suatu assessment dan peringatan yang baik untuk menjadi bahan bagi para pengambil keputusan di tingkat korporasi agar waspada.”
Berdasarkan catatan Moody’s, peningkatan risiko gagal bayar itu utamanya dipicu oleh pelemahan pendapatan korporasi yang bergerak di sektor komoditas. Di sisi lain kemampuan membayar utang korporasi Indonesia dalam valas masih ada yang belum terproteksi dengan hedging.
Presiden Direktur PT Mayapada International Tbk Hariyono Tjahjarijadi membenarkan pelemahan kinerja korporasi dalam negeri yang sudah dirasakan oleh perbankan. “Pelemahan itu bahkan terjadi praktis hampir di semua industri,” katanya. Sebagai langkah antisipasi, perbankan pun telah menyiapkan pencadangan hingga restrukturisasi kredit jika dibutuhkan. “Kami juga meng-approach debitor untuk mengurangi outstanding kreditnya supaya meringankan beban bunga atau angsuran mereka,” ujar Haryono.
Kasus gagal bayar terbaru menimpa PT Delta Merlin Dunia Textile, entitas Duniatex Group yang tak mampu membayar kupon obligasi yang diterbitkannya. Kondisi industri yang tengah terjepit saat ini pun diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Benang dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta.
“Untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang orientasi domestik sekarang memang sedang mengalami stagnansi pasar, banyak perusahaan yang kesulitan menjual produknya karena pasar masih dipenuhi barang impor,” kata dia. Redma mengatakan jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin akan mengganggu kinerja keuangan dan kelancaran pembayaran utang perusahaan. “Misalnya kalau impornya dibiarkan banjir terus, bisa mengarah ke sana.”
GHOIDA RAHMAH | FAJAR PEBRIANTO