TEMPO.CO, Jakarta- Lembaga pemeringkat utang internasional, Moody’s Investor Service menyampaikan potensi peningkatan risiko gagal bayar utang swasta korporasi Indonesia. Hal itu tertuang dalam laporan berjudul ‘Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen’.
Laporan itu mengungkapkan hasil stress test risiko kredit dari 13 negara Asia Pasifik, di mana Indonesia tercatat memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) yang sangat kecil, bahkan sebanyak 40 persen utang korporasi Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2. Skor ICR yang semakin rendah tersebut menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali pinjamannya semakin menurun.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan peringatan Moody’s itu merujuk pada situasi pelemahan ekonomi global yang kemudian berdampak pada kinerja korporasi dalam negeri.
“Perusahaan-perusahaan swasta kita sudah sangat highly leverage, utangnya sangat besar,” ujar Piter kepada Tempo, Rabu 2 Oktober 2019. Piter mengatakan peningkatan risiko itu khususnya terjadi pada perusahaan yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk valuta asing.
Pasalnya, gejolak nilai tukar rupiah bisa sewaktu-waktu menyebabkan peningkatan kewajiban pembayaran utang luar negeri secara drastis, dan mengakibatkan gagal bayar. “Sehingga peringatan Moody’s beralasan mengingat belajar pengalaman kita pada 1997-1998 menjelang krisis situasinya relatif sama, terjadi lonjakan utang swasta yang kemudian meledak tak tertangani ketika terjadi pelemahan rupiah yang ekstrem,” ucapnya.
Adapun berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri (ULN) Bank Indonesia, nilai utang korporasi swasta dan BUMN hingga Juli 2019 mencapai US$ 197,8 miliar atau setara dengan Rp 2.769,20 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$). Posisi itu tumbuh 11,5 persen secara tahunan dan tumbuh 11,1 persen secara bulanan. Peningkatan tersebut menurut bank sentral disebabkan oleh penerbitan obligasi global oleh korporasi non lembaga keuangan.
Piter melanjutkan risiko gagal bayar itu perlu segera diantisipasi oleh Bank Indonesia maupun pemerintah, dengan mengambil kebijakan yang tepat dalam menghadapi pelemahan ekonomi dan kurs rupiah yang terlampau ekstrem. “Karena yang terjadi jika perusahaan-perusahaan swasta gagal bayar akan menyebabkan kenaikan rasio kredit macet (NPL) secara drastis, perbankan mengalami krisis, investasi terhenti, pengangguran meningkat,” kata dia. Walhasil, pertumbuhan ekonomi dapat terkontraksi bahkan hingga negatif.