TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen Sriwijaya Air dan Nam Air membutuhkan masa transisi untuk mengembalikan kualitas kinerja yang sempat terganggu akibat pecah kongsi dengan grup Garuda Indonesia. Direktur Quality, Safety, and Security Sriwijaya, Toto Soebandoro, mengatakan unitnya harus memeriksa seluruh pesawat, baik yang aktif maupun yang tengah dikandangkan.
"Harus disesuaikan lagi berapa pesawat airworthy atau laik terbang. Mungkin tidak bisa langsung banyak," katanya kepada Tempo, Selasa 1 Oktober 2019.
Sriwijaya Air mengelola 30 armada aktif yang didominasi pesawat Boeing 737 Next Generation. Sejak tak mendapat suplai perawatan dan suku cadang dari PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMF), pada 24 September lalu, jumlah pesawat yang diterbangkan maskapai terus berkurang. Hingga kemarin siang, kata Toto, hanya 11 unit yang dipakai.
Kondisi itu mulai bisa diperbaiki karena kedua grup maskapai sudah rujuk dan melanjutkan kerja sama pengelolaan. Disepakati kemarin, grup Garuda, melalui PT GMF dan PT Gapura Angkasa, kembali mendukung perawatan dan jasa penunjang (ground handling) seluruh armada Sriwijaya, termasuk untuk 16 pesawat Nam Air.
Toto menuturkan layanan rute pun harus disembuhkan bertahap. "Pesawat dirawat dulu, lalu ditentukan bisa terbang ke mana, kemudian baru divisi komersial bisa membuka reservasi dan menjual tiket lagi."
Senior Manager Corporate Governance Sriwijaya Air, Pritanto Ade Saputro, mengatakan entitasnya harus memperbaiki frekuensi Sriwijaya yang merosot, dari 160 flight per hari menjadi 70 flight per hari. "Repair pasti butuh waktu," ucapnya.
Dia belum bisa memastikan rute mana yang sempat ditutup karena sistem rotasi pesawat Sriwijaya sangat dinamis. Merujuk data perusahaan hingga April 2019, Sriwijaya mengelola 63 rute domestik dan dua trayek internasional, sementara Nam Air terbang di 43 rute domestik.