TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Faisal Basri menyebut dampak yang terjadi apabila Presiden Joko Widodo tidak menerbitkan Perpu KPK atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk membatalkan Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi alias UU KPK hasil revisi. Ia mengatakan dampak itu akan meluas, tidak sekadar sektor ekonomi.
"Kalau saya sih sudah tidak bicara ekonomi, tetapi terancamnya peradaban," ujar dia di Kantor Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta Selatan, Senin, 30 September 2019. Ia mengambil contoh banyak negara, seperti Venezuela, Afrika Selatan, Zimbabwe, Suriah, Libya, hingga Arab Saudi yang peradabannya mundur bahkan rusak lantaran merebaknya praktik rasuah.
Bukan hanya itu, Faisal mengatakan legitimasi pemerintah juga bakal terkikis kalau Jokowi tak segera mengeluarkan perpu. Berdasarkan pengalamannya saat bergabung dalam Tim Tata Kelola Migas, ia mengatakan banyak trader migas dunia yang mendatangi tim itu untuk menceritakan kejengahan mereka berbisnis dengan cara yang kotor dan menginginkan bisnis yang benar.
"Asing itu pada dasarnya ingin bersih, businessman ingin bersih, tapi diganggu sekelompok orang yang ingin pemilu cepat selesai, logistik cepat terkumpul, mahalnya cost politik harus kita pikirkan juga," kata Faisal.
Senada dengan Faisal, Direktur Program Indef Esther Sri Astuti mengatakan perlunya pemerintah memberantas korupsi. Pasalnya, korupsi menghambat performa ekonomi. Tata kelola kelembagaan yang lemah cenderung mendorong terjadinya korupsi, menghambat perbaikan performa ekonomi dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Esther mengatakan korupsi, ketidaktransparanan dan ketidakstabilan kebijakan ekonomi, serta lembaga pemerintah yang tidak efisien akan meningkatkan resiko dan ketidakpastian lingkungan bisnis. Imbasnya, aliran modal asing yang masuk akan berkurang karena korupsi di lembaga pemerintah akan mendistorsi investasi publik.
Presiden Joko Widodo menyatakan sedang mempertimbangkan mengeluarkan Perpu KPK guna membatalkan UU KPK hasil revisi. Presiden menyatakan hal ini usai bertemu dengan 41 tokoh nasional, menyusul semakin kencangnya gelombang protes dari masyarakat. "Akan kami hitung, kalkulasi, dan setelah kami putuskan, kami akan sampaikan kepada para senior yang hadir," ucap Jokowi, Kamis, 26 September 2019.