TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah krisis manajemen dan operasional yang membelitnya, maskapai Sriwijaya Air Group juga masih harus menghadapi dua gugatan yang diajukan PT Citilink Indonesia. Gugatan diajukan kepada PT Sriwijaya Air dan PT NAM Air karena dinilai wanprestasi atas perjanjian kerja sama pengelolaan manajemen dengan anak usaha Garuda Indonesia itu.
Gugatan pertama diajukan Citilink kepada Sriwijaya Air Group dengan perkara No. 574/Pdt.G/2019/PN Jkt.Pst pada 19 September 2019. Di sini, Citilink menuntut pengadilan supaya menghukum tergugat membayar uang paksa (dwangsom) kepadanya sebanyak Rp5 juta setiap hari keterlambatan. Uang paksa wajib dibayarkan apabila tergugat lalai memenuhi isi keputusan hakim berkekuatan hukum tetap atau incraht.
Adapun gugatan kedua diajukan Citilink Indonesia ke pengadilan pada 25 September 2019 dengan perkara No. 582/Pdt.G/2019/PN Jkt.Pst Dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), Citilink menilai wanprestasi yang dilanggar oleh Sriwijaya dan NAM Air terkait pasal 3 butir 1 dan pasal butir 5 butir 2 atas perjanjian No. CITILINK/JKTSDQG/AMAND-I/6274/1118 tanggal 19 November 2018.
Corporate Communication Citilink, Farin, mengiyakan atas gugatan Citilink Indonesia kepada Sriwijaya Air dan NAM Air tersebut. Dia juga membenarkan gugatan tersebut terkait dengan Kerja Sama Manajemen (KSM) pada 19 November 2018 lalu. "Iya betul [KSM antara Citilink Indonesia dan Sriwijaya Air]," kata Farin kepada Bisnis, Senin 30 September 2019.
Hingga berita ini diturunkan, Senior Manager of Corporate Communications Sriwijaya Air Retri Maya tidak merespons pertanyaan tentang gugatan yang dialami pihaknya tersebut.
Sengketa hukum antara Citilink dengan Sriwijaya Air itu bermula ketika kedua belah pihak menjalin KSM pada 9 November 2018 dengan tujuan anak usaha Garuda Indonesia itu mengambil langkah strategis mengelola operasional dua maskapai tersebut.
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda I Gusti Askhara Danadiputra atau Ari Askhara mengatakan bahwa KSM antara keduanya untuk membantu Sriwijaya group memperbaiki kinerja operasi dan kinerja keuangan. Termasuk di sini juga membantu memenuhi komitmen atau kewajiban mereka terhadap pihak ketiga yang diantaranya ada pada lingkungan Garuda Indonesia Group.
KSM tersebut diimplementasikan pada 10 Desember 2018 dengan pelantikan jajaran komisaris dan direksi yang baru. Adapun direksi tersebut diisi 7 orang yakni lima dari Garuda Indonesia dan 2 pihak Sriwijaya Air.
Selain itu, di jajaran komisaris, Sriwijaya menempatkan empat komisaris dan Garuda Indonesia menempatkan tiga orang. Dari KSM tersebut, kinerja Sriwijaya Air membaik dari 2018 mengalami kerugian sebesar Rp1,6 triliun dan berubah positif pada kuartal I/2019 ini.
Namun, KSM itu kini tengah diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Menurut KPPU, KSM itu memiliki potensi pelanggaran UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sebelumnya, Juru Bicara KPPU Guntur Saragih mengatakan, KSO itu menimbulkan dampak Garuda Indonesia Group mengendalikan Sriwijaya karena adanya rangkap jabatan di antara jajaran direksi dan komisaris di Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air. "Ada dugaan kartel harga tiket pesawat. KSO [Sriwijaya dan Garuda Indonesia] bukan persaingan harga tetapi Garuda Indonesia mengendalikan Sriwijaya termasuk dengan rangkap jabatan itu,” kata Guntur.
BISNIS | CAESAR AKBAR