TEMPO.CO. Jakarta - Rapat paripurna terakhir DPR RI periode 2014-2019 resmi menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian. Dengan penundaan ini, Komisi Koperasi dan Usaha Kecil Mikro (UKM) praktis tidak mengesahkan satupun UU selama masa kerjanya, lima tahun ini.
“Saya secara pribadi mewakili PKS, mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia,” kata anggota Komisi Koperasi dan UKM dari Fraksi PKS, Slamet di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 30 September 2019.
Menurut Slamet, hal ini terjadi karena banyaknya tarik-menarik dalam proses pembentukan UU ini di komisinya.
Di awal rapat, Slamet sebenarnya sempat meminta agar RUU usulan pemerintah bisa disahkan. Namun, perwakilan fraksi ternyata telah bermufakat sebelum paripurna, untuk menyerahkan pengesahan RUU ini pada DPR periode selanjutnya, 2019-2024. Sehingga, penundaan pun kompak diambil peserta rapat paripurna.
Dengan ditundanya pengesahan RUU Perkoperasian ini, maka pengaturan koperasi akan kembali mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang disahkan sejak zaman Orde Baru. Sebab, UU Nomor 12 Tahun 2002 tentang Perkoperasian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Di Komisi Koperasi dan UKM DPR, sebenarnya ada satu lagi revisi UU yang dibahas yaitu UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli atau UU Monopoli. Revisi ini juga telah sempat dibahas di tingkat komisi, namun belum rampung sehingga tidak bisa disahkan di DPR periode ini.
Kinerja dari Komisi Koperasi dan UKM DPR ini sebelumnya juga telah disorot oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Peneliti Formappi Lucius Karius mengatakan kondisi ini juga tak lepas dari adanya hambatan pembahasan antara komisi ini dengan mitra kerja mereka, Kementerian BUMN. “Jadi fungsi legislasinya nol,” kata dia kepada beberapa media, Kamis, 26 September 2019.