TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Perhubungan memanggil jajaran direksi maskapai PT Sriwijaya Air untuk membincangkan masalah proses identifikasi dan pengendalian risiko atau Hira yang telah masuk zona merah. Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan Avirianto mengatakan kementerian memberikan waktu lima hari untuk proses transisi.
“Kalau lima hari di masa transisi (maskapai) enggak bisa survive, mereka akan setop operasi. Namun, penghentian operasi itu merupakan keputusan Direktur Safety Sriwijaya,” ujar Avirianto kepada Tempo, Sabtu, 28 September 2019.
Dokumen Hira sebelumnya dikeluarkan sejumlah karyawan Sriwijaya yang tergabung dalam tim penyusun. Tim ingin mengidentifikasi risiko setelah rapat umum pemegang saham luar biasa atau RUPSLB memutuskan mengangkat direktur utama dan komisaris utama yang baru.
Hira disusun pasca-pergantian kepemimpinan untuk memastikan keselamatan dan kelaikan maskapai tidak terganggu. Pada 24 September 2019, Kementerian Perhubungan menerima dokumen Hira dari Sriwijaya. Hasilnya menunjukkan bahwa identifikasi dan penilaian risiko maskapai telah memasuki tahap 4A-5A atau memasuki ambang merah. “Mereka hampir setop operasi. Hira mereka merah,” kata Avirianto.
Senior Manager Corporate Governance Sriwijaya Air Pritanto Ade Saputro yang turut terlibat dalam pembuatan Hira mengatakan dampak gangguan ini terjadi untuk beberapa aktivitas. Dua di antaranya adalah produksi maskapai yang terus menurun dan kondisi finansial yang melemah.
Kondisi ini diperparah lantaran dalam waktu bersamaan dengan pergantian struktur kepemimpinan, Sriwijaya Air mengalami dispute dengan Garuda Indonesia. Garuda Indonesia menarik satu per satu kerja samanya dengan Sriwijaya, dimulai dari pemasangan logo hingga pencabutan sewa engine atau mesin oleh GMF AeroAsia.
“Melihat kondisi ini, Hira menghasilkan rekomendasi bahwa pesawat sebaiknya berhenti beroperasi untuk sementara per 27 September,” katanya, kemarin.