TEMPO.CO, Jakarta - Realisasi pembiayaan utang pemerintah hingga akhir Agustus 2019 mencapai Rp 284,78 triliun alias 79,3 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Utang tersebut terdiri dari realisasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 290,74 triliun atau 74,7 persen target APBN dan realisasi Pinjaman sebesar negatif Rp 5,97 tirliun atau 20,1 persen target APBN.
"Realisasi Pinjaman yang mencapai angka negatif disebabkan oleh realisasi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang lebih besar daripada penarikannya. Namun sebaliknya, untuk pinjaman dalam negeri penarikan pinjaman lebih besar dibandingkan pembayaran cicilan pokok," dikutip dari Laporan APBN Kita Edisi September 2019, Rabu, 25 September 2019.
Adapun hingga akhir Juli 2019 pemerintah telah membayarkan cicilan pokok pinjaman dalam negeri sebesar Rp 0,58 triliun atau 39,3 persen dari target APBN. Sementara, cicilan pokok pinjaman luar negeri telah dibayarkan sebesar Rp 49,29 triliun atau 54,5 persen target APBN.
Sedangkan, penarikan pinjaman dalam negeri mencapai Rp 1,0 triliun atau 51,1 persen target APBN dan penarikan pinjaman luar negeri mencapai Rp 42,90 triliun atau 71,2 persen target APBN.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan tersebut, realisasi pembiayaan utang yang telah mencapai Rp 284,78 triliun hingga akhir Agustus 2019 tersebut sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan belanja produktif di sektor prioritas yang mendesak, seperti belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
"Di tengah terbatasnya kapasitas fiskal Pemerintah serta didorong oleh kebutuhan belanja produktif yang tidak bisa ditunda, utang menjadi alat Pemerintah untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut," tulis laporan Kemenkeu.
Sebelumnya, Sri Mulyani mencatat adanya kenaikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hingga akhir Agustus 2019 mencapai angka Rp 199,1 triliun atau 1,24 persen dari Produk Domestik Bruto.
"Ada kenaikan defisit yang cukup besar yaitu 32 persen," ujar Sri Mulyani di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 24 September 2019. Adapun target defisit pada APBN 2019 adalah sebesar 296 triliun. Artinya, angka defisit hingga akhir Agustus tersebut baru mencapai 67,2 persen.
Sementara itu, pada periode yang sama tahun lalu, realisasi defisit APBN mencapai Rp 150,5 triliun atau 1,02 persen dari Produk Domestik Bruto. Artinya, defisit pada periode ini tercatat lebih tinggi ketimbang pada periode yang sama pada tahun lalu.
Hingga 31 Agustus 2019, Sri Mulyani mengatakan penerimaan negara baru mencapai Rp 1.189,3 triliun alias 54,9 persen dari target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 yang Rp 2.165,1 triliun. Artinya, masih kurang sekitar 45 persen atau Rp 975,83 triliun dari target. "Kalau dibanding tahun lalu yang Rp 1.152,9 triliun, pertumbuhannya 3,2 persen," ujar Sri Mulyani.
Dari jumlah pendapatan tersebut, Rp 1.188,32 triliun adalah pendapatan dalam negeri. Rinciannya, penerimaan perpajakan Rp 920,15 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 268,16 triliun. Adapun pendapatan hibah 0,96 triliun.
Meski demikian, Sri Mulyani melihat pertumbuhan dari pendapatan baik perpajakan maupun penerimaan bukan pajak lebih rendah dari pertumbuhan tahun lalu.
Pada tahun ini penerimaan perpajakan hanya 1,4 persen, sementara pada tahun lalu 16,5 persen. Adapun pertumbuhan penerimaan bukan pajak naik 11,6 persen, atau lebih rendah dari tahun lalu yang naik 24,3 persen.
Sementara itu, Sri Mulyani mengatakan realisasi belanja negara hingga akhir Agustus 2019 adalah Rp 1.388,3 triliun atau 56,4 persen dari target APBN 2019. Besar belanja negara itu naik 6,5 persen dari tahun lalu. Pertumbuhan belanja negara itu sedikit lebih lemah dari tahun lalu yang tumbuh 8,8 persen.