TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas diminta untuk segera merilis surat edaran terkait pembatasan pemberian BBM bersubsidi jenis solar versi yang telah direvisi. Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman menyatakan kebijakan itu sangat ditunggu-tunggu karena para pengusaha membutuhkan kepastian di lapangan.
Kyatmaja menyatakan BPH Migas sudah menyatakan ada revisi SE No. 3865.E/Ka BPH/2019 tapi belum ada perubahan tertulis di beleid tersebut. "Tersirat saja, belum tersurat. Sudah disampaikan dia ralat SE tapi kemarin. Terus kami mengatakan asosiasi SPBU minta surat tertulis, kalau tersirat tidak bisa implementasi di lapangan," katanya, Selasa, 24 September 2019.
Seperti diketahui, surat edaran tentang Pengendalian Kuota Jenis Bagan Bakar Minyak Tertentu 2019 telah diedarkan pada 29 Juli 2019 lalu. Surat edaran itu berisi sembilan instruksi mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi, khususnya solar.
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan hasil perkebunan, kehutanan, dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam buah dalam kondisi bermuatan atau tidak bermuatan, misalnya, dilarang menggunakan solar bersubsidi. Tak hanya itu, mobil tanki BBM, CPO, dump, truck trailer, truk gandeng dan mobil pengaduk semen, juga dilarang menggunakan solar bersubsidi.
Surat edaran itu telah ditembuskan ke Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, gubernur dan bupati/wali kota. Salah satu dasar dikeluarkannya beleid itu adalah temuan 10 provinsi yang konsumsi BBM subsidinya melampaui batas kuota. Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa menyebutkan, di antara 10 provinsi tersebut patut diduga ada penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan.
Konsumsi solar bersubsidi yang melampaui kuota itu pula yang diminta Kementerian Keuangan untuk segera ditekan agar tak semakin memberatkan anggaran. Tahun ini, berdasarkan Nota Keuangan APBN 2019, kuota volume jenis bahan bakar tertentu atau JBT ditetapkan sebanyak 15,11 juta KL.
Kuota itu terdiri dari solar sebanyak 14,5 juta KL dan minyak tanah sebanyak 610.000 KL. Volume kuota JBT tahun ini lebih kecil dibandingkan dengan kuota 2018 sebanyak 15,62 juta KL.
Namun dalam pelaksanaannya di lapangan, aturan itu ditentang oleh para pengusaha logistik dan truk. Pada Senin lalu misalnya, ratusan sopir truk lintas asosiasi melakukan mogok kerja dengan tidak mengangkut semua kebutuhan pokok maupun kebutuhan ekspor ke Pelabuhan Petikemas Makassar sebegai bentuk protes terhadap aturan itu.
Penolakan kebijakan itu juga disuarakan oleh Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) Syaifuddin Ipho. Ia menilai kebijakan itu mengancam kenaikan kebutuhan pokok di daerah.
Ipho menjelaskan ada sebanyak 1.800 truk di Sulawesi Selatan dan semuanya adalah truk khusus pengangkut kebutuhan pokok, untuk kebutuhan ekspor. "Semuanya mogok mengangkut," katanya.
Pengusaha keberatan mengikuti aturan itu karena harga biosolar yang biasanya dipakai Rp 5.400 per liter. Jika subsidi dicabut atau dipaksakan untuk menggunakan solardex tanpa subsidi harganya Rp 10.400, maka ada kenaikan hingga 100 persen.
Merespons banyak masukan utu, belakangan BPH Migas melakukan revisi pada poin keempat surat edaran tersebut. Anggota Komite BPH Migas Henry Ahmad menyatakan sosialisasi revisi aturan ke publik sudah dilakukan.
Namun, sosialisasi ini belum dibarengi dengan perubahan SE di lapangan oleh BPH Migas sehingga para pengusaha SPBU masih mengacu pada surat edaran yang lama. “Yang terkait dengan industri perkebunan dan pertambangan memang tidak. Tapi selain itu boleh, itu saja (revisi) yang ditambahkan. Karena selama ini jadi perdebatan,” ucap Henry.
Karena belum ada surat edaran baru yang berisi revisi aturan itu, kalangan pengusaha masih belum bisa bergerak. "Kalau tidak ada edaran baru, SPBU tidak akan menyesuaikan dengan ralat tersebut. Sehingga angkutan barang beroda 6 atau lebih tetap tidak dapat menggunakan solar bersubsidi," ujar Kyatmaja.
BISNIS | ANTARA