TEMPO.CO, Palembang—Kabut asap semakin pekat menyelimuti Palembang dan kota-kota lainnya di Sumatera Selatan. Pada Sabtu kemarin, jarak pandang maksimal yang tercatat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang masih sejauh 10 Km. Kini, Ahad 22 September ini jarak pandang hanya tersisa 200-800 meter saja.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II, Bambang Beny Setiaji menjelaskan rendahnya jarak pandang itu berdampak pada beberapa penerbangan mengalami penundaan atau delay. "Dengan keadaan cuaca kabut asap, berdampak delapan penerbangan mengalami delay. Angin permukaan yang tercatat di BMKG Stasiun Meteorologi SMB II Palembang umumnya dari arah Timur – Tenggara dengan kecepatan 4-20 Knot (7-36 Km/Jam) mengakibatkan potensi masuknya asap akibat Karhutbunla ke wilayah Kota Palembang dan sekitarnya," kata dia di Palembang, Ahad.
Sumber dari LAPAN tertanggal 21 September 2019 mencatat beberapa titik panas di wilayah sebelah Timur - Selatan Kota Palembang dengan tingkat kepercayaan di atas 80 persen. Hal itu, kata Bambang, berkontribusi kabut asap ke wilayah Kota Palembang yakni pada wilayah SP Padang, Banyu Asin I, Pampangan, SP Padang, Pedamaran, Tulung Selapan, Cengal, Pematang Panggang, dan Mesuji.
Menurut Bambang, intensitas kabut asap umumnya meningkat pada dini hari menjelang pagi hari (01.00-07.00 WIB) dan pada sore hari (17.00-19.00 WIB). Hal ini dikarenakan labilitas udara yang stabil pada saat tersebut.
Kabut asap sendiri diindikasikan dengan kelembapan yang rendah dengan partikel-partikel kering di udara, mengurangi jarak pandang, beraroma khas, perih di mata, mengganggu pernafasan dan matahari terlihat berwarna oranye/merah pada pagi/sore hari, hal ini berpotensi diperburuk jika adanya campuran kelembapan yang tinggi (partikel basah/uap air) sehingga membentuk fenomena Kabut Asap (Smog) yang umumnya terjadi pada pagi hari.
Sementara itu, sekitar 250 kepala keluarga atau sebanyak 600 jiwa penduduk desa Kayuara Batu, kecamatan Muara Belida, Muara Enim sempat terisolir dari dunia luar lantaran desa yang berada di pinggir Sungai Belida ini terkepung asap. Kabut asap bersumber dari kebakaran di lahan Kebun Raya Sriwijaya, desa Bakung, Ogan Ilir yang berjarak sekitar 10 KM dari desa mereka. Kemudian kondisi semakin parah dengan adanya kebakaran kebun sawit dipinggiran desa.
Mulyadi, 40 tahun salah satu warga desa, mengatakan pekan lalu merupakan puncak dari kepekatan kabut asap yang masuk ke desanya yang saat itu bertepatan dengan mulai terbakarnya kebun raya Sriwijaya pada Ahad, 8 September 2019. Akibatnya warga kesulitan untuk melakukan aktivitas di pagi hari utamanya untuk berladang, mencari ikan di sungai dan mengantarkan sapi-sapi mereka ke padang rumput.
PARLIZA HENDRAWAN