TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berjanji akan menggelontorkan anggaran untuk revitalisasi mesin di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) skala menengah. Menurut Airlangga, sektor inilah yang mengalami tekanan paling tinggi akibat lonjakan barang impor.
“Nanti kami akan bantu, diskon permesinan misalnya,” kata Airlangga saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat, 20 Agustus 2019. Airlangga tidak merinci berapa besar anggaran yang disiapkan kementeriannya karena akan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industri.
Selama ini, kata Airlangga, beberapa Industri TPT tidak melakukan restrukturisasi mesin mereka sehingga biaya produksi semakin mahal dan daya saing berkurang. Sehingga, inilah yang akan menjadi fokus dari Kemenperin saat ini. Selain itu, pemerintah juga mendorong agar adanya harmonisasi tarif di tingkat hulu hingga hilir Industri TPT.
Saat ini, Industri TPT tanah air didera sejumlah masalah. Mulai dari banjirnya produk impor hingga kurangnya daya saing untuk produk luar negeri. Walhasil, sembilan pabrik tekstil disebut gulung tikar selama periode 2017 hingga 2019.
“Mereka semua produsen untuk pasar dalam negeri,” kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat di Kantor Pusat API, Graha Surveyor Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis, 19 September 2019. Ade menyebut salah satu penyebabnya melonjaknya produk tekstil impor.
Sebelumnya Ade menyebut besarnya volume produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah. "Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat ada sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja)," katanya.
Adapun perusahaan tekstil yang menutup usahanya lebih banyak di sektor menengah, seperti pemintalan, pertenunan, dan rajut. Ade menjelaskan bahwa tutupnya perusahaan tekstil ini tentunya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan lapangan kerja.
Namun Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, juga menduga jika persoalan terjadi karena mesin dan peralatan produksi yang relatif tua. Sehingga, produk kurang berkualitas, kapasitas rendah, hingga jenis dan motif kain tidak up to date. “Tidak efisien karena lebih dari 20 tahun (mesin) juga,” kata Achmad pada Rabu, 11 September 2019.