TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis lingkungan Riau Johny Setiawan Mundung meminta Presiden Joko Widodo segera menaikkan status siaga darurat persoalan kabut asap serta kebakaran hutan dan lahan alias karhutla di Riau, menjadi bencana nasional.
"Presiden semestinya sudah meningkatkan status menjadi bencana nasional, sudah jutaan orang terpapar asap sangat berbahaya dan mematikan ini di Sumatera dan Kalimantan," ujar Johny dalam pesan singkat kepada Tempo, Jumat 20 September 2019.
Ia pun mengingatkan Jokowi bahwa pemerintah bisa mengerahkan semua personel dan sumber dayanya untuk segera memadamkan api di lahan gambut Riau dan Kalimantan. Karena itu, ia heran dengan pemerintah yang belum total dalam upaya menanggulangi persoalan di lokasi-lokasi karhutla.
"Sampai sekarang kan tidak ada sama sekali (penambahan personel dari pusat). Alasannya menurut presiden belum perlu peningkatan status kebencanaan, makanya tenaga dan sumber daya provinsi sangat terbatas, baik personel maupun peralatan," ujar Johny.
Di sisi lain, ia juga mempertanyakan fungsi Badan Restorasi Gambut, yang dibentuk Presiden Jokowi tiga tahun silam, dalam keadaan kebakaran seperti saat ini. Sebab, Johny meyakini lembaga nonstruktural itu memiliki dana yang cukup dalam operasinya merestorasi gambut di sejumlah wilayah.
Hingga laporan ini ditulis, Johny terus memperbaharui informasi di kotanya, Pekanbaru. Menurut dia, jarak pandang pada hari ini kembali memburuk. Di samping itu pada kemarin malam pun oksigen terasa sangat tipis, sehingga menyebabkan susah bernafas.
"Terasa bau sangat menyengat aroma asap pembakaran," ujar Johny. Dengan kondisi seperti itu, ia bergantian menggunakan tabung oksigen dengan anggota keluarganya, yang terdiri dari ibu, istri, dan dua orang anaknya.
Pekatnya kabut asap, kata Johny sudah sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat, termasuk sanak keluarga. Ia memberi contoh anaknya yang sudah lama penyakit asmanya tidak kambuh, belakangan kumat lagi lantaran musibah kabut asap yang melanda daerahnya.
Ia pun mempertanyakan nasib warga Pekanbaru lainnya yang tidak mampu membeli tabung oksigen ataupun tidak memiliki pendingin ruangan. Di sisi lain, sejumlah warga dan pejabat pun sudah ada yang mulai mengungsi ke kota lain di Sumatera Barat. "Bagaimana nasib rakyat yang tidak punya kendaraan, siapa yang mengevakuasi?"
Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pekanbaru, Jumat, asap masih menyelimuti Riau dan jarak pandang memburuk. Imbasnya, jarak pandang di Pekanbaru menjadi hanya sekitar 600 meter.
Selain di Pekanbaru yang jarak pandangnya hanya 600 meter, lokasi yang lebih parah terjadi di Kabupaten Pelalawan yang hanya 400 meter. Sedangkan, dua daerah lainnya yakni di Kota Dumai dan Rengat relatif lebih baik yakni masing-masing 1,5 kilometer dan 1 kilometer.
Satelit Terra Aqua berdasarkan pantauan BMKG pada pukul 06.00 WIB menunjukkan ada 151 titik panas yang jadi indikasi karhutla. Paling banyak ada di Jambi ada 635 titik, Sumatera Selatan (Sumsel) 469 titik, sedangkan di Riau ada 151 titik.
Dari 151 titik di Riau, paling banyak di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) ada 45 titik, Pelalawan 44 titik, Rokan Hilir (Rohil) 28 titik, Kampar 9 titik, indragiri Hulu (Inhu) 8 titik, Kuansing dan Bengkalis masing-masing 7 titik, Meranti 2 titik, dan Kota Dumai ada satu titik panas. Dari jumlah tersebut ada 107 titik api yang terdeteksi, dan paling banyak di Pelalawan yakni 35 titik.
Kualitas udara di Riau pada hari ini sebagian besar masih dalam kategori berbahaya. Hal itu ditunjukkan dari data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, badan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan perhitungan alat Indeks Standar Pencemar Udara, polusi jerebu karhutla dalam kategori berbahaya ada di Kabupaten Siak, Kampar, Rokan Hilir, dan Bengkalis karena hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi polutan di atas angka 300. Kota Dumai pencemaran udara masuk kategori tidak sehat, dan Kota Pekanbaru masuk kategori sangat tidak sehat.
ANTARA