TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia atau BI baru saja kembali memangkas tingkat suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin atau bps, menjadi 5,25 persen. Menanggapi hal tersebut, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira hal tersebut dirasa tidak cukup jika tidak dibarengi kebijakan moneter lain.
Bhima menyebutkan sebenarnya kebijakan BI tersebut telah menciptakan momentum positif. "Tapi penurunan bunga tanpa adanya operasi untuk likuiditas itu nggak cukup," ujarnya, Kamis, 19 September 2019.
Menurut Bhima, saat ini bank konvensional masih enggan menurunkan bunga kreditnya karena likuiditas saat ini relatif terbatas. Hal itu terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan masih mencapai 94 persen.
Artinya, kata Bhima, dunia perbankan masih berhati-hati dalam menyalurkan kredit karena ada kekhawatiran. "LDR-nya 94 persen, jadi ruang untuk ekspansinya kecil. Kalau nurunin (bunga kredit), dana depositonya pindah ke bank lain, likuditasnya makin seret," ucapnya.
Dia memprediksi, bahwa kebijakan penurunan suku bunga BI ini akan baru terasa manfaatnya maksimal lima bulan mendatang. "Baru berasa karena likuiditas ketat. Itu bikin bank tidak mau cepat-cepat ikutin BI. Itu aja masalah, likuitas dan bunga acuan," tambahnya.
Oleh karena itu Bhima menyarankan, selain menurunkan suku bunga, bank sentral itu juga harus mengeluarkan kebijakan moneter lain seperti pelonggaran rasio giro wajib minimun (GWM) bank umum yang saat ini masih dipatok 6 persen. Sedangkan bank umum syariah 4,5 persen. Dengan GWM rata-rata tetap berada di rasio 3 persen.
"Saran saya selain penurunan suku bunga dilanjutkan yang berikutnya penting adalah relaksasi moneter terutama GWM giro wajib minimum itu yang harus dilakukam BI kalau mau transmisi penurunan suku bunga acuan ke bunga kredit cepat," kata Bhima.