TEMPO.CO, Tangerang - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji untuk mengkaji pengelolaan dana perjalanan dinas PNS secara lebih komprehensif. Hal ini menanggapi salah satu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pemborosan biaya perjalanan dinas hingga Rp 25,4 miliar.
Biaya perjalanan dinas yang tidak sesuai itu tersebar di 41 kementerian dan lembaga. Hal tersebut tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2019 yang dikeluarkan Selasa lalu.
Sri Mulyani menyatakan telah menerima hasil pemeriksaan BPK tersebut. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menjaga pengelolaan keuangan negara yang transparan dan komprehensif.
Dia juga mengatakan temuan tersebut sudah didapatkan. Dia berjanji untuk memeriksa dan membahas temuan-temuan dari BPK terkait dana perjalanan PNS agar ke depannya tidak kembali terjadi.
"Ini juga sejalan dengan permintaan presiden untuk lebih efisien dalam belanja pegawai, salah satu yang termasuk dalam hal ini adalah perjalanan dinas," kata Sri Mulyani, saat ditemui di Tangerang, Kamis, 19 September 2019. Ia menyatakan, pihaknya selalu menghargai temuan yang didapat BPK dalam proses audit.
Salah satu kementerian /lembaga yang terindikasi melakukan penggelembungan dana adalah Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT). Rinciannya adalah biaya perjalanan dinas terindikasi ganda kepada pegawai sebesar Rp 4,91 miliar, belanja perjalanan dinas yang tidak riil sebesar Rp 993,56 juta, serta belanja perjalanan dinas luar negeri tidak sesuai dengan Standar Biaya Masukan (SBM) sebesar Rp 184,03 juta.
Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga terindikasi melakukan pembayaran belanja perjalanan dinas dalam negeri yang tidak sesuai dengan SBM sebesar Rp 3,06 miliar. Selain itu, BPK juga menemukan pembayaran belanja perjalanan dinas luar negeri yang terjadi akibat kesalahan perhitungan jumlah hari perjalanan dan tidak sesuai dengan SDM mencapai Rp 1,28 miliar.
Adapun Kementerian Pertahanan kelebihan ditemukan biaya perjalanan dinas sebesar Rp 2,17 miliar dalam bentuk bukti tiket perjalanan tidak sesuai dengan bukti yang disediakan penyedia jasa.
Selain itu, BPK juga menemukan selisih harga tiket yang dipertanggungjawabkan dengan pengeluaran pihak penyedia jasa, serta pembayaran biaya perjalanan yang tidak berdasarkan perincian pengeluaran riil. BPK juga menemukan belanja perjalanan dinas fiktif sebesar Rp 406,9 juta.
BISNIS