TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Perjanjian Perdagangan Bebas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Wahyuni Bahar mengatakan kakao Indonesia kurang kompetitif jika dibandingkan dengan produk negara lain yang juga diekspor ke Uni Eropa. Ini juga yang menyebabkan ekspor komoditas Indonesia sulit masuk ke pasar Benua Biru.
"Ada persoalan dengan SNI kita, bukan rahasia lagi bahwa pemeriksaan tidak dilakukan seusai dengan SOP. Tapi di sana importirnya cek, kantor kami menangani beberapa kasus, ditolak, ternyata ada banyak cacat dan sebagainya," ujar Wahyuni saat di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, 17 September 2019.
Selain permasalahan di atas, Wahyuni mengungkapkan, bahwa untuk produk kakao Indonesia masih dikenakan biaya masuk 4-5 persen oleh UE. Berbeda dengan negara-negara berkembang di Benua Hitam yang sama sekali tidak dikenakan biaya masuk, seperti Pantai Gading dan Ghana yang menduduki peringkat teratas dalam ekspor kakao dunia.
"Negara Afrika bisa masuk deras, karena mereka dikenakan tarif nol persen, kita tarifnya tinggi," kata dia.
Selain bersaing dalam jumlah dengan negara-negara Afrika, Wahyuni menuturkan, bahwa kualitas kakao Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Sebab, komoditas mereka sudah mempunyai sertifikasi-sertifikasi yang diakui oleh UE. "Biji kakao indonesia masih mengandung kadmium," ia menambahkan
Karena itu, ia menganjurkan kepada petani akako agar bisa meningkatkan hasil panen dengan diolah terlebih dahulu sebelum dijual. Hasil kakao Indonesia selalu turun dari tahun ke tahun. Menurut Wahyuni ini disebabkan karena tidak adanya revitalisasi terhadap pohon-pohon yang sudah tua, yang menjadikan pohon tersebut juga rentan hama dan penyakit tanaman mudah tertular ke tanaman lain.
"Kalau pohon usia produktifnya itu lima tahunan, tapi sekarang usianya sampai 30 tahunan jadi sudah tua. Di saat bersamaan petani enggan tanam pohon baru karena baru lima tahun bisa di rasakan manfaatnya," tutur Wahyuni.
Wahyuni menjelaskan, kendala lain adalah, kurangnya transfer teknologi di perkebunan kakao dan industri pengolahan kakao yang sudah terbuka 95 persen, penggunaan mesin impor oleh industri pengolahan kakao, serta tidak adanya insentif khusus untuk investasi di perkebunan kako dan industri pengolahan kakao.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Wahyuni menganjurkan kepada pemerintah untuk segera menegosiasikan bea masuk kakao Indonesia agar menjadi nol melalui perjanjian dagang. Sehingga, produk ekspor kakao Indonesia bisa bersaing di Uni Eropa.
EKO WAHYUDI