TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencermati dampak kenaikan harga minyak mentah dunia ke dalam negeri. Hal itu merespons harga minyak yang naik pascaserangan terhadap fasilitas minyak mentah Aramco di Arab Saudi.
"Yang harus kita perhatikan mungkin lebih kepada dampak jangka menengah panjang, yaitu dinamika stabilitas keamanan dan politik di Timur Tengah. Karena biasanya yang selama ini terjadi, ketegangan-ketegangan dan perang itu kan di luar Saudi Arabia, yang merupakan pusat besarnya. Kalau sekarang sudah ada di dalam," kata Sri Mulyani di Gedung Dhanalapa, Jakarta, Selasa, 17 September 2019.
Menurut Sri Mulyani, jika dilihat dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, harga minyak mentah lebih rendah. Karena itu, dia menilai koreksi yang sifatnya jangka pendek, mungkin masih bisa tercakup dalam rancangan awal itu.
"Jadi sekarang kita mungkin lebih harus memperhatikan dinamika jangka menengahnya, karena ini mempengaruhi apa yang disebut konstelasi politik dan keamanan di Timur Tengah. Kita belum tahu nanti akan seperti apa, karena ini akan merupaka sesuatu yang akan kita lihat reaksinya dari Saudi, dari Amerika Serikat, Iran, dan segala macem yang merupakan suatu kombinasi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menilai hal itu tidak hanya akan memberikan sentimen, tapi betul-betul konstelasi politik dan keamanan.
Pascaserangan terhadap fasilitas minyak mentah Arab Saudi, Saudi Aramco, harga minyak terpantau melonjak hampir 15 persen pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB, 17 September 2019). Kenaikan harga minyak ini mencatat lompatan terbesar selama dari 30 tahun terakhir, di tengah rekor volume perdagangan.
Serangan terhadap Saudi Aramco diperkirakan memotong separuh produksi kerajaan dan memicu kekhawatiran akan pembalasan di Timur Tengah.
Harga inyak mentah Brent, patokan internasional, dilaporkan ditutup pada US$ 69,02 per barel, melonjak US$ 8,80 atau 14,6 persen, kenaikan persentase satu hari terbesar sejak setidaknya 1988. Brent berjangka melihat lebih dari dua juta kontrak diperdagangkan, rekor volume harian sepanjang masa, kata juru bicara wanita Intercontinental Exchange, Rebecca Mitchell.
Sementara itu, patokan AS, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) berakhir pada US$ 62,90 per barel, melompat US$ 8,05 atau 14,7 persen -- kenaikan persentase satu hari terbesar sejak Desember 2008.
Serangan drone terhadap dua fasilitas kilang milik Saudi Aramco di Abqaiq, Arab Saudi, terjadi pada Sabtu pekan lalu waktu setempat. Serangan itu meningkatkan ketidakpastian di pasar yang relatif tenang dalam beberapa bulan terakhir. Serangan tersebut memicu kekhawatiran berkurangnya pasokan minyak mentah dari Arab Saudi, yang secara tradisional menjadi pemasok terakhir di dunia.
Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar di dunia dengan kapasitas cadangan yang relatif besar. Arab Saudi telah menjadi pemasok minyak terakhir selama beberapa dekade.
Serangan akhir pekan terhadap fasilitas pemrosesan minyak mentah milik produsen Saudi Aramco di Abqaiq dan Khura memangkas produksi sebesar 5,7 juta barel per hari dan menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuannya untuk mempertahankan ekspor minyak. Perusahaan belum memberikan garis waktu khusus untuk dimulainya kembali hasil penuh.
Indeks volatilitas pasar minyak mencapai level tertinggi sejak Desember tahun lalu. Aktivitas perdagangan menunjukkan investor memperkirakan harga minyak bakal lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
HENDARTYO HANGGI | ANTARA