TEMPO.CO, Jakarta - Aktuaris BPJS Kesehatan Ocke Kurniandi menjelaskan, jumlah tunggakan peserta BPJS Kesehatan segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri sejak 2014 hingga saat ini mencapai Rp 10 triliun.
Ocke menjelaskan, jumlah itu terus bertambah karena segmen mandiri memiliki tingkat kolektabilitas iuran sekitar 54 persen. Berbeda dengan segmen-segmen lain yang hampir seluruhnya mencatatkan kolektabilitas iuran 100 persen.
"Terdapat sekitar Rp 10 triliun tagihan kepada BPJS Kesehatan karena kan (segmen mandiri) kolektabilitasnya mencapai 54 persen, jadi ada sekitar 46 persen (piutang)," ujar Ocke, belum lama ini. "Sudah dari 2014, bukan tahun ini saja."
Tunggakan tersebut, menurut Ocke, perlu diselesaikan untuk membantu arus kas BPJS Kesehatan yang terus mencatatkan defisit sejak terbentuk pada 2014. Akar permasalahan defisit yakni iuran yang di bawah perhitungan aktuaria juga harus diselesaikan.
Pasalnya, kata Ocke, selama ini masih ada selisih yang cukup besar antara pemasukan dari iuran peserta dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Dari catatannya, saat ini rata-rata selisih setiap bulannya mencapai Rp 2 triliun.
BPJS Kesehatan kini memiliki tunggakan pembayaran layanan kesehatan ke rumah sakit sekitar Rp 11 triliun. Untuk itu, menurut Ocke, penyesuaian iuran diperlukan agar biaya pelayanan kesehatan dapat dipenuhi dan defisit dapat terus ditekan. "Kami berharap 2020 (defisit) bisa tertutup, jadi 2021 itu bisa terhitung netral," ujar dia.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris sebelumnya menyebutkan besar kenaikan iuran lembaga pemberi jaminan kesehatan yang akan diterapkan pada tahun 2020 tidak akan memberatkan masyarakat.