TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memastikan bahwa keputusan menaikkan cukai rokok telah memperhatikan kondisi industri terkait. Karena dalam memutuskan hal tersebut, pemerintah juga berupaya menjaga keseimbangan antara industri padat modal dan padat karya.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menjelaskan, pemerintah sejatinya telah mempertimbangkan berbagai akibat dari rencana penaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23 persen pada tahun 2020. Terlebih sektor cukai rokok ini terlibat dengan banyak dengan sektor lainnya yaitu industri, tenaga kerja, dan petani baik petani tembakau maupun cengkeh.
Namun begitu, pemerintah sangat memperhatikan peningkatan prevalensi perokok secara global dari 32,8 persen menjadi 33,8 persen. Perokok pada usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen, demikian halnya untuk perokok perempuan dari 1,3 persen menjadi 4,8 persen.
Sebagaimana diketahui fungsi dari pungutan cukai hasil tembakau adalah untuk pengendalian konsumsi rokok (legal maupun ilegal), menjamin keberlangsungan industri dengan menjaga keseimbangan antara industri padat modal dan padat karya, dan untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
"Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka mulai 1 Januari 2020, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai dengan rata-rata sekitar 23 persen dan menaikkan harga jual eceran (harga banderol) dengan rata-rata sekitar 35 persen," kata Nufransa Jumat, 13 September 2019.
Kebijakan tarif cukai dan harga banderol tersebut, menurut dia, telah mempertimbangkan beberapa hal. Sejumlah hal itu antara lain jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya), asal bahan baku (lokal dan impor).
"Secara prinsip, besaran kenaikan tarif dan harga banderol dikenakan secara berjenjang di mana tarif dan harga banderol sigaret kretek tangan lebih rendah daripada sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin," ujar Nufransa.
Otoritas fiskal menambahkan, untuk mengamankan kebijakan tersebut agar efektif di lapangan, pemerintah tetap dan terus berkomitmen untuk melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran di bidang cukai.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga independen (UGM), dalam 3 tahun terakhir Bea dan Cukai berhasil menekan peredaran rokok ilegal dari 12,1 persen menjadi 7 persen pada 2018. Sedangkan pada 2019 peredaran rokok ilegal ditargetkan ditekan menjadi 3 persen.
Dengan adanya kebijakan kenaikan cukai ini dimungkinkan akan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Oleh sebab itu, perlu penguatan sinergi dengan TNI, Polri, PPATK, dan aparat penegak hukum lainnya dalam mencegah tumbuhnya kembali peredaran rokok ilegal.
BISNIS