TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia mengumumkan jumlah utang luar negeri Indonesia hingga Juli 2019 telah mencapai US$ 395,3 miliar atau setara Rp 5.534 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar). "Struktur utang luar negeri Indonesia tetap sehat didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya," kata BI dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 16 September 2019.
Menurut BI, kondisi tersebut tercermin antara lain dari rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Juli 2019 sebesar 36,2 persen. Rasio ini membaik dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya atau pada akhir Juli 2019 yang mencapai 36,8 persen.
Selain itu, kata BI, struktur utang luar negeri Indonesia tetap didominasi oleh utang berjangka panjang dengan pangsa 87,6 persen. Dengan perkembangan tersebut, BI menyebut struktur utang luar negeri Indonesia tetap sehat meski terjadi peningkatan.
Peningkatan memang terjadi pada Juli 2019 ini. Utang pemerintah dan bank sentral mencapai US$ 197,5 miliar atau 49,9 persen, tumbuh 9,7 persen (yoy). Sementara, utang swasta dan BUMN mencapai US$ 197,8 miliar atau 50,1 persen, tumbuh 11,5 persen (yoy).
Meski demikian, peringatan datang dari firma konsultan global, McKinsey & Co pada Agustus 2019. McKinsey memperingatkan negara-negara Asia Pasifik agar meningkatnya utang korporasi di negara-negara Asia Pasifik. Peringatan ini disampaikan McKinsey setelah menelaah neraca keuangan dari 23 ribu korporasi di sebelas negara Asia Pasifik.
Ternyata, terdapat 32 persen dari utang perusahaan di Indonesia dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. ICR merupakan indikator kemampuan sebuah perusahaan untuk membayar bunga utang. Dalam kondisi ini, perusahaan pun harus menggunakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk membayar utang.
Laporan ini telah dipantau oleh Kementerian Keuangan. “Kami memantau bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)” kata Luky Alfirman saat ditemui di Jakarta Selatan, Kamis, 5 September 2019.
Luky mengatakan, antisipasi pemerintah saat ini berbeda dengan kondisi saat krisis ekonomi akhir dekade 20-an karena beberapa kebijakan mitigasi sudah diterbitkan. Salah satunya kebijakan transaksi lindung nilai atau hedging. “Di BI ada kewajiban hedging itu, salah satu cara agar kita (Indonesia) tidak seperti 1997, karena memang otoritas ada di mereka,” kata Luky.