TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia mencatat jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia hingga Juli 2019 telah mencapai US$ 395,3 miliar atau setara Rp 5.534 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar). Angka ini tumbuh 10,3 persen year-on-year (yoy) atau meningkat dibandingkan pertumbuhan pada akhir Juni 2019 yang sebesar 9,9 persen (yoy).
"Kenaikan ini dipengaruhi oleh transaksi penarikan neto utang luar negeri dan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat," kata BI dalam keterangan resminya, Senin, 16 September 2019. Dengan demikian, utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar Amerika Serikat.
Adapun utang ini datang dari dua sumber, utang pemerintah serta swasta dan BUMN. Dalam catatan BI, jumlah ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 197,5 miliar atau 49,9 persen. Angka ini tumbuh 9,7 persen (yoy), lebih dari pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 9,1 persen.
Menurut BI, peningkatan tersebut didorong oleh arus masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang tetap tinggi di tengah dinamika global yang kurang kondusif. Kondisi ini disebut mencerminkan kepercayaan investor terhadap perekonomian domestik, didukung oleh imbal hasil investasi portofolio di aset keuangan domestik yang menarik.
Sementara, utang swasta dan BUMN sebesar US$ 197,8 miliar atau 50,1 persen. Angka ini tumbuh 11,5 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 11,1 persen. Menurut BI, utang swasta ini tumbuh meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan investasi korporasi di beberapa sektor ekonomi utama.
Peningkatan utang swasta ini, terutama bersumber dari penerbitan obligasi global oleh korporasi bukan lembaga keuangan. Secara sektoral, ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap atau air panas dan udara, serta sektor pertambangan dan penggalian.
Dalam keterangannya, BI menyatakan utang Indonesia saat ini masih tetap terkendali dengan struktur yang sehat.
Pada Agustus 2019, firma konsultan global, McKinsey & Co menerbitkan laporan sembilan halaman berjudul “Signs of Stress in The Asian Financial System”. Lewat laporan tersebut, McKinsey memperingatkan negara-negara Asia Pasifik agar mewaspadai terulangnya krisis ekonomi dan krisis utang Asia yang pernah terjadi pada 1997 silam.
Salah satu resiko yang diperingatkan oleh McKinsey adalah meningkatnya utang di 23 ribu korporasi di sebelas negara Asia Pasifik. Ternyata, terdapat 32 persen dari utang perusahaan di Indonesia dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. ICR merupakan indikator kemampuan sebuah perusahaan untuk membayar bunga utang. Dalam kondisi ini, perusahaan pun harus menggunakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk membayar utang.
FAJAR PEBRIANTO