TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23 persen dan menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35 persen dinilai dapat menjadi pisau bermata dua. Kenaikan cukai rokok yang berlaku mulai 1 Januari 2020 tersebut dianggap akan memberi dampak yang signifikan dibandingkan kenaikan 2017 sebesar 10.5 persen.
"Namun tahun depan beda. Dengan tarif lebih tinggi, kemungkinan kenaikan tarif cukai ini akan membawa efek domino terhadap penurunan permintaan, penawaran dan harga tembakau,” kata Peneliti bidang ekonomi dari The Indonesian Institute Center for Public Policy Research, M Rifki Fadilah dalam keterangan tertulis, Sabtu, 14 September 2019.
Rifki berujar, kebijakan menaikkan tarif cukai rokok kretek pertama akan berdampak kepada menurunnya permintaan rokok itu. Efek lanjutannya akan merepresentasikan pengurangan konsumsi rokok kretek. Menurut dia, berkurangnya konsumsi rokok kretek mampu meminimalisir kerugian dari konsumsi rokok kretek.
Kendati mampu menurunkan permintaan dan konsumsi rokok, dia menganggap efek lain yang ditimbulkan dari kenaikan cukai adalah penurunan permintaan dan penawaran tembakau. Ia berujar, turunnya permintaan tembakau oleh rokok kretek adalah dampak penurunan harga riil rokok kretek di tingkat produsen, sehingga menyebabkan penurunan permintaan tembakau total.
Penurunan permintaan tembakau total itu kemudian menyebabkan penurunan harga riil tembakau baik di tingkat konsumen, maupun di tingkat produsen. Alhasil, penurunan harga riil tembakau baik di tingkat produsen maupun konsumen menyebabkan penurunan jumlah penawaran tembakau.
Ujung dari skema kenaikan cukai rokok ini akan menjadi implikasi kedua yakni memukul kesejahteraan petani tembakau. "Kesejahteraan petani tembakau akan mengalami penurunan apabila terjadi kenaikan tarif cukai rokok kretek lantaran menurunnya demand tembakau dari produsen rokok kretek,” kata dia.
Selain itu, Rifki menyatakan kenaikan cukai yang tinggi juga akan menimbulkan implikasi ketiga yakni meningkatnya peredaran rokok ilegal. Dia mengatakan, Direktorat Bea dan Cukai hingga 29 September 2016, telah melalukan penindakan 1.593 kasus rokok ilegal. Angka tersebut menurut dia naik 1,29 kali lipat dibanding pelanggaran pada 2015.
Kemudian, Rifki melanjutkan, jumlah rokok ilegal yang diamankan periode 2016 mencapai 176,2 juta batang. Nominal keseluruhannya ditaksir mencapai Rp135,5 miliar. Pelanggaran terbanyak berasal dari jenis rokok yang diproduksi dengan mesin.
Oleh karena itu, Rifki mengimbau pemerintah agar mempertimbangkan kembali kenaikan tarif cukai yang menurutnya terlalu tinggi itu. Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan kebijakan untuk mengatasi dampak negatif kenaikan cukai tarif rokok.
“Tarif boleh naik untuk kontrol konsumsi yang sudah membawa eksternalitas negatif yang semakin besar. Pemerintah juga perlu meningkatkan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok," ujar Rifki.
Terkait besaran tarif, Rifki menilai pemerintah harus memikirkan agar kebijakan ini efektif untuk menekan konsumsi rokok namun tidak mematikan industri tembakau. Selain itu, pemerintah harus melakukan suatu kebijakan untuk mengurangi dampak penurunan kesejahteraan dan ekonomi akibat terjadi akibat kenaikan tarif cukai rokok kretek. "Serta mencegah dan memitigasi peredaran rokok ilegal di masyarakat,” tutup Rifki.