TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, mengatakan kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen pada 1 Januari 2020 bertujuan untuk mengurangi produksi rokok di Indonesia secara bertahap. Namun demikian, kata dia, pemerintah juga harus tetap memperhatikan kelangsungan dari industri rokok di tanah air.
“Industri harus tetap diperhatikan, nah industri yang mana? Kalau disuruh memilih, tentunya yang padat karya lebih utama karena dia menyangkut ratusan ribu tenaga kerja dan keluarganya,” kata Heru saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 September 2019.
Sehingga dalam penerapannya, cukai untuk rokok jenis SKT atau Sigaret Kretek Tangan akan lebih rendah dibandingkan jenis SPM atau Sigaret Kretek Mesin. SKT adalah jenis rokok yang hanya diproduksi secara manual dengan tangan, tidak menggunakan mesin seperti SPM. Sehingga, tenaga kerja yang diserap lebih banyak atau disebut industri padat karya.
Ketentuan ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Di dalam regulasi ini, harga jual dan cukai berbeda-beda untuk setiap golongan dan jenis. Sebagai contoh, rokok SMP golongan I (produksi di atas 3 miliar batang) dikenai cukai sebesar Rp 590 per batang dengan harga jual eceran paling rendah Rp 1.120 per batang.
Sementara untuk SKT yang diproduksi manual dengan tangan atau tanpa mesin, cukai yang dikenakan lebih rendah yaitu Rp 365 per batang. Namun, harga jual ecerannya lebih ditetapkan lebih mahal yaitu Rp 1.261 per batang. Nah, pertimbangan inilah yang menjadi dasar kenaikan cukai rokok setiap tahunnya, dimana cukai industri padat karya seperti SKT akan lebih rendah dibandingkan industri padat modal seperti SPM.
Sehingga, 23 persen merupakan angka rata-rata dari kenaikan cukai, pada rokok yang dalam PMK tersebut jumlahnya mencapai 8 jenis. Bea Cukai akan segera menyampaikan rincian tarifnya dalam PMK baru nantinya. “Tetapi pasti dengan average 23 persen itu, Sigaret Kretek Tangan (SKT) pada prinsipnya akan diberikan tarif yang teringan,” kata dia.
Adapun kenaikan cukai rokok mulai 1 Januari 2020 ini sebelumnya diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Jumat, 13 September 2019. Ia menjelaskan kebijakan ini bertujuan untuk 3 hal. Pertama, mengendalikan konsumsi rokok mengatur industri rokok, dan menjaga penerimaan negara. Selain cukai, pemerintah juga memutuskan kenaikan harga jual eceran (HEJ) rokok sebesar 35 persen.
Tapi di sisi lain, rokok menjadi salah satu sumber penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Hingga 2010, Kementerian Perindustrian mencatat jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri rokok mencapai 5,98 juta orang. Jumlah ini terdiri dari dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur distribusi, dan 1,7 juta di sektor perkebunan.
Selain itu pada 2018, cukai rokok menyambang penerimaan cukai sebesar Rp 153 triliun. Jumlah ini mencapai 95,8 persen dari total penerimaan cukai tahun tersebut,.