TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, mengatakan pihaknya tidak membuat kebijakan kenaikan cukai rokok berdasarkan target pendapatan semata. Menurut dia, pertimbangan paling utama kenaikan cukai sebesar 23 persen mulai tahun depan, adalah untuk pengendalian konsumsi.
“Pengendalian konsumsi itu pasti kaitannya dengan kesehatan,” kata dia saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 September 2019.
Bagi dia, kenaikan cukai rokok ini harus secara gradual menurunkan konsumsi rokok di masyarakat, tapi di saat bersamaan, harus tetap memperhatikan industri produsen rokok.
Bagi Heru, penurunan konsumsi rokok ini berkaitan dengan ongkos kesehatan masyarakat yang harus ditanggung pemerintah dan produktivitasnya. "Karena orang yang sakit tentunya tidak sama produktivitas dengan yang tidak sakit, meski bukan karena rokok saja,” kata dia.
Sebab dalam catatan Bea Cukai selama 10 tahun terakhir, jumlah konsumsi rokok mengalami tren penurunan 1,2 persen setiap tahunnya seiring dengan kenaikan cukai terhadap produk ini.
Mulai tahun depan, 1 Januari 2019, pemerintah memutuskan kenaikan cukai rokok 23 persen dan harga jual eceran (HEJ) rokok sebesar 35 persen. Kenaikan ini sebenarnya tertunda, karena pemerintah membatalkan kenaikan pada 2019. Terakhir kali cukai rokok naik yaitu pada 1 Januari 2018 sebesar 10,04 persen.
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan salah satu tujuan dari penerapan cukai rokok ini adalah untuk menjaga penerimaan negara. Kenaikan ini akan akan berkontribusi pada potensi penerimaan negara sebesar Rp 173 triliun. "Ini juga sudah ada di RUU APBN dan sudah dibahas dengan DPR,” kata Sri pada Jumat, 13 September 2019.
Saat ini, jumlah perokok di Indonesia memang menjadi yang tertinggi. Menurut data World Health Organization (WHO) pada 2019, Indonesia menjadi negara dengan persentase perokok tertinggi di dunia saat ini, yaitu mencapai 76,2 persen perokok.
Yordania menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak kedua setelah Indonesia yaitu 70,2 persen, diikuti oleh Kiribati menjadi negara tertinggi ketiga dengan jumlah perokok mencapai 63,9 persen, serta. Sierra Leone, Rusia, Georgia, Laos, Lesotho, Kuba, dan Yunani sebesar 52 sampai 60 persen.
Adapun Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menilai kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran (HJE) pada tahun depan akan sangat memberatkan industri hasil tembakau (IHT).
FAJAR PEBRIANTO