TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pelaku kerusuhan dan penyebar berita bohong alias hoaks seharusnya mengganti rugi dari dampak pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Sebab, kata dia, tindakan pelaku kerusuhan dan penyebar berita hoaks yang menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan pemblokiran.
"Kalau enggak ada kerusuhan dan enggak ada penghasutan, tidak akan ada pembatasan (internet), jadi kalau mau dituntut ya yang bikin rusuh dan bikin hoaks uang disuruh ganti rugi," ujar Rudiantara di Ballroom Djakarta Theatre, Jakarta, Kamis, 12 September 2019.
Ia menampik kebijakan pemerintah itu mengganggu kegiatan ekonomi bahkan berdampak kerugian kepada para pelaku usaha. Rudiantara justru menunjuk kerusuhan sebagai biang keladi yang mengganggu dunia usaha. "Kalau enggak ada kerusuhan enggak ada pembatasan."
Pemerintah melakukan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat sejak Rabu, 21 Agustus 2019. Langkah itu dilakukan dengan dalih membatasi penyebaran hoaks dan alasan keamanan. Blokir itu dibuka bertahap sejak 4 September 2019. Saat ini, tinggal Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura yang akses internetnya masih belum dibuka.
Adapun sebaran informasi hoaks, kabar bohong, ujaran kebencian, hasutan dan provokasi terkait dengan isu Papua terus menunjukkan tren menurun sejak 31 Agustus 2019. Puncak sebaran hoaks dan hasutan terkait isu Papua terjadi pada 30 Agustus 2019 dengan jumlah url mencapai 72.500.
Distribusi hoaks terus menurun, 42 ribu url di tanggal 31 Agustus 2019, 19 ribu url di tanggal 1 September 2019, lalu menurun menjadi 6.060 url hoaks dan hasutan di tanggal 6 September 2019.
Kebijakan pemblokiran internet itu sempat dikeluhkan oleh pelaku usaha perhotelan. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (DPD PHRI) Papua Syahril Hasan mengatakan pemblokiran internet sangat berdampak kepada bisnis perhotelan di Papua dan Papua Barat.
Khususnya, bagi tamu-tamu yang kerap memesan kamar melalui aplikasi online. "Penurunannya sekitar 40 persen dari normal," ujar dia dalam pesan singkat kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2019.
Blokir internet itu juga berdampak kepada bisnis pengantaran barang. Jasa pengiriman logistik, PT JNE, menyebut pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat juga sempat membuat jumlah paket yang masuk ke sana anjlok drastis. Seperti diketahui, pemerintah melakukan blokir internet di dua provinsi tersebut sejak Rabu, 21 Agustus 2019.
"Jumlah paket kiriman yang masuk ke Papua mengalami penurunan hingga 50 persen," ujar Head of Marketing Communication Division JNE Doedi Hadji Sapoetra dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2019. Ia menyebut pembatasan akses internet membuat masyarakat tidak bisa berbelanja online atau melakukan aktivitas e-commerce.