TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan tak banyak swasta yang tertarik ikut membangun infrastruktur di lokasi ibu kota baru. Alasannya masih banyak tantangan bagi swasta jika ingin terlibat di sektor infrastruktur.
"Karena perizinan, pembebasan lahan, koordinasi kemudian kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) itu ngga berjalan dengan optimal, jadi tak banyak swasta bakal tertarik di infrastruktur," kata Bhima ketika ditemui sejumlah wartawan di Universitas Pembangunan Nasional, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Rabu 11 September 2019.
Bhima menuturkan prediksi keengganan tersebut juga dilandaskan pada laporan Bank Dunia terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia. Menurut laporan tersebut, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir kontribusi swasta tercatat hanya sebesar 10 persen dalam pembangunan infrastruktur.
Dengan kondisi perekomian dunia yang tengah melambat, jumlah investor atau investasi di sektor infrastruktur diperkirakan sedikit. Apalagi, return investasi infrastruktur yang telah dibangun sebelumnya juga belum pasti mencapai break even point atau balik modal.
"Artinya kalau ada pembangunan infrastruktur di lokasi ibu kota baru, keterlibatan swasta untuk bisa dalam proyek itu cenderung kecil," kata Bhima.
Sebelumnya, menurut kajian Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional atau Bappenas pemindahan ibu kota ini bakal menelan biaya sekitar Rp 323 – Rp 466 triliun. Porsi pembiayaan itu akan dibangi menjadi tiga yakni pembiayaan dengan dana APBN sebesar Rp 30,6 triliun, BUMN lewat KPBU sebesar Rp 340,6 triliun dan swasta lewat skema Kerja Sama Pemanfaatan Rp 95 triliun.