TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mendorong pemerintah memberikan insentif fiskal bagi produk tembakau alternatif. Pemerintah dapat mengikuti sejumlah negara yang lebih dulu memberikan insentif kepada produk hasil pengembangan inovasi dan teknologi dari industri tembakau tersebut.
"Beberapa negara seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru, sudah membuktikan bahwa kebijakan harm reduction dapat diimplementasikan dengan baik di sana. Negara tersebut sudah memberikan insentif fiskal berupa tax reduction bagi industri yang memproduksi produk yang ramah lingkungan dan rendah risiko,” kata Esther dalam keterangan tertulis, Selasa, 9 September 2019.
Berdasarkan hasil kajian ilmiah dari Public Health England, produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, tidak menghasilkan TAR dan memiliki zat kimia berbahaya yang lebih rendah hingga 95 persen daripada rokok.
Esther melanjutkan bahwa beberapa negara memberikan insentif fiskal karena meyakini bahwa produk tembakau alternatif minim akan risiko kesehatan.
“Beberapa studi sudah dilakukan dan membuktikan bahwa produk tembakau alternatif memiliki zat berbahaya dan risiko yang lebih rendah daripada rokok. Kajian tersebut juga menyebutkan bahwa produk tembakau alternatif berhasil mengurangi jumlah perokok di beberapa negara,” ucapnya.
Saat ini, Esther menyadari, masih banyak pro dan kontra mengenai produk tembakau alternatif. Namun, kondisi tersebut dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk memperkuat berbagai penelitian lokal berbasis ilmiah tentang produk tersebut.
Dengan langkah pemerintah memberikan insentif fiskal, Esther melanjutkan, industri rokok akan terpacu untuk melakukan riset dan pengembangan produk tembakau yang rendah risiko.
Apalagi sejumlah studi kesehatan juga membuktikan perokok berpotensi terkena risiko kanker. Ditambah lagi, angka perokok di Indonesia tergolong tinggi.
“Bagi perokok, cara yang terbaik untuk mengurangi kesehatan mereka adalah dengan berhenti merokok. Namun, bagi perokok yang tidak bisa berhenti merokok, maka mereka dapat didorong untuk menggunakan produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko,” ujar Esther.
Setelah pemberian insentif fiskal, pemerintah selanjutnya didorong memperkuatnya dengan regulasi. Esther mengatakan regulasi diperlukan agar pengawasan dalam penjualan dan pengunaan tidak disalahgunakan. Selain itu, masyarakat, terutama perokok dewasa, berhak untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang produk tembakau alternatif.
“Atur regulasi yang tepat, misalnya pelarangan untuk membeli produk tembakau alternatif pada anak di bawah umur. Tentukan standar-standarnya agar risiko penyalahgunaan berkurang,” kata dia.
Esther menambahkan bahwa selain pada industri tembakau, konsep harm reduction dapat diterapkan di berbagai industri lain, misalnya pada industri energi terbarukan dengan insentif untuk produk biofuel, insentif untuk mobil listrik, maupun disinsentif cukai untuk plastik.
ANTARA