Tempo.Co, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan menumpuknya garam di gudang yang menyebabkan harga anjlok terjadi karena kuota impor garam terlampau tinggi. Menteri Susi mengatakan tahun ini pemerintah mengimpor garam sekitar 2,7 juta ton.
"Tahun ini kita impornya agak terlalu banyak, 2,7 juta ton. Naiknya banyak sekali," kata Susi di kantornya, Senin petang, 9 September 2019.
Tingginya volume impor berdampak langsung bagi rendahnya serapan garam di level petani. Menteri Susi mengatakan, pada 2016 hingga 2017 lalu, pemerintah membatasi kuota impor garam sekitar 1,6 juta hingga 2,1 juta ton.
Saat itu, harga garam di level petambak tergolong tinggi, yakni mencapai Rp 2.000 per kilogram. Menteri Susi mengatakan saat itu kementeriannya masih dapat memberikan rekomendasi terkait volume impor kepada Kementerian Perdagangan. Sebab, KKP terlibat dalam neraca perdagangan petani garam.
"Kalau sekarang KKP tidak terlibat tata-niaga. Kami hanya sebatas membuat pugar, geo membran," ujar Susi. Meski demikian, Menteri Susi minta pemerintah bersinergi untuk membuat kebijakan membantu petani garam.
Harga garam di level petambak khususnya di Cirebon menjelang musim panen pada awal September lalu sangat rendah, yakni hanya Rp 300 per kilogram. Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia Waji memandang kondisi ini menggambarkan buruknya tata-kelola garam di Indonesia.
"Setiap tahun kami harus berhadapan dengan masalah harga, iklim, dan impor. Seakan-akan garam rakyat dibiarkan mati di tempat," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bobroknya tata-kelola garam di Indonesia terjadi pasca-pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.
“Inilah regulasi yang secara terang-terangan menghancurkan tata kelola garam nasional setelah sebelumnya Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015,” ujarnya.
Dalam PP 9 Tahun 2018, Susan menyoroti sejumlah pasal. Di antaranya pasal 5 ayat 3 mengenai volume dan waktu impor. Ayat itu memuat aturan berikut.
"Volume dan waktu pemasukan komoditas pergaraman ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian."
Ia juga menyoroti pasal 6 dalam beleid itu yang menunjukkan bahwa persetujuan impor komoditas pergaraman diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Beleid itu berlaku untuk bahan baku dan bahan penolong industri sesuai rekomendasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
“Dua pasal ini merupakan bentuk nyata liberalisasi garam nasional atas nama industri. PP 9 Tahun 2018 ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam,” ujarnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | FAJAR PEBRIANTO