Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan usulan kenaikan premi untuk memperbaiki defisit anggaran keuangan di BPJS Kesehatan yang tahun ini memburuk hingga Rp 32,8 triliun. Usulan kenaikan tersebut untuk peserta jaminan kelas I menjadi Rp 160 ribu, kelas II menjadi Rp 110 ribu dan kelas III menjadi Rp 25.500 per bulan. Kenaikan tersebut direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menegaskan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan hanya diberlakukan bagi peserta mandiri. Sedangkan iuran penduduk miskin dan tak mampu tetap dibayar oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Saat ini, sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat melalui APBN yang disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sedangkan, sebanyak 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah daerah melalui APBD.
Sedangkan untuk pekerja penerima upah, baik aparatur sipil negara (ASN) pusat dan daerah, TNI, Polri dan pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
Nufransa menambahkan setiap tahun program JKN mengalami defisit sebesar Rp1,9 triliun tahun 2014, kemudian Rp 9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp 13,8 triliun (2017), dan Rp 19,4 triliun (2018).
Untuk mengatasi defisit JKN itu, Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun (2015) dan Rp 6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp 3,6 triliun (2017) dan Rp 10,3 triliun (2018).
"Tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp 32 triliun pada tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp 44 triliun pada 2020 dan Rp 56 triliun pada 2021," ujar Nufransa.
BISNIS