"Teknisnya umpamanya kalo ada konten hoaks, dia harus bertanggung jawab membersihkan. Kalau enggak bersih kami denda," ujar Semuel. Adapun besar denda maksimum adalah hingga Rp 100 miliar per pelanggaran.
Denda maksimum itu, kata Semuel, bisa dikenakan kalau perusahaan mendiamkan beberapa kali hingga menimbulkan hal-hal yang merugikan masyarakat. "Jadi tidak merespon permintaan dan membiarkan penyebaran konten-konten yang bisa merugikan masyarakat itu akan kena."
Di samping itu, beleid itu juga mengatur agar sektor publik datanya berada di tanah air. Kecuali teknologinya memang belum ada. Setelah aturan terbit, pihak-pihak tersebut memiliki waktu hingga dua tahun untuk menyesuaikan.
"Untuk menyesuaikan umpamanya sektor publik yang datanya masih di luar nah itu kita akan balikin ke Indonesia. Kita harus melakukan assessment, jadi semua Kementerian kita lakukan assessment ada yang diluar enggak, kalau ada kita mengembalikan," tutur Semuel.
Saat ini revisi beleid itu, ujar Semuel, sudah rampung dan sedang disirkulasi alias dikelilingkan ke beberapa kementerian oleh Sekretariat Negara selama 30 hari sejak 16 Agustus 2019. "Nah ini prosesnya memang cukup panjang tapi substansinya sekarang kita mendengar dari beberapa masukan mana pun," kata dia. "Saya optimis rampung Oktober 2019 karena sudah semua menunggu ini dan akan bagus buat masyarakat dan juga bagi semua pemain."