TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara siap membantu Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menarik pajak dari perusahaan-perusahaan digital asing seperti Facebook, Google, hingga Netflix.
"Loh kan pasti kita harus support pajak. Kalo perlu didatangkan nanti kami minta mereka (perusahaan digital) ketemu pajak (Ditjen Pajak)," ujar Rudiantara di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat, 6 September 2019.
Rudiantara mengatakan Kominfo sudah lama ikut membantu Ditjen Pajak untuk menghimpun duit pajak dari perusahaan digital. Ia pun mengklaim hasil dari kerjasama tersebut adalah Google yang telah membayar Pajak Penghasilan atau PPh Badan sejak 2016.
Bahkan, Rudiantara mengklaim sudah memberi masukan bahwa sistem yang ada sekarang, yaitu dengan mendorong perusahaan digital itu menjadi Badan Usaha Tetap, sebelum bisa dipungut pajaknya, adalah langkah yang tidak praktis. Karena itu lah ia menyebut perlu ada aturan baru, yaitu perusahaan asing yang ditarik pajak tidak perlu memiliki kantor fisik di tanah air, namun secara ekonomi hadir. "Ini yang sedang disiapkan aturannya, regulasinya oleh teman-teman di Kemenkeu," kata Rudiantara.
Kementerian Keuangan telah menyiapkan aturan perpajakan baru agar bisa menarik pajak dari kegiatan bisnis perusahaan digital asing seperti Google, Facebook, hingga Netflix. Aturan ini ingin membuat definisi dari perusahaan yang kena pajak tidak hanya dari physical presence atau kehadiran fisiknya, tapi juga dari economic presence alias keuntungan ekonomi yang mereka peroleh dari konsumen di Indonesia.
"Kami memperluas definisinya," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan di Jakarta, Kamis, 5 September 2019. Selama ini, perusahaan-perusahaan tersebut memang belum sama sekali dikenai pajak atas bisnis yang mereka lakukan di Indonesia.
Rencana untuk memajaki Google cs ini pun dimuat dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang bersifat omnibus law atau membawahi regulasi lainnya. RUU ini akan dibahas sejalan dengan revisi UU PPN, UU PPh, maupun UU KUP.
Lebih lanjut, untuk bisa memajaki Google cs, pemerintah menyiapkan sejumlah aturan. Pertama, pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa. Selama ini, pemungutan dilakukan oleh konsumen di dalam negeri dengan Surat Setoran Pajak. Tapi lewat RUU ini, Ditjen Pajak meminta SPLN untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Mereka juga diminta untuk menunjuk perwakilan di Indonesia untuk memungut PPN atas nama mereka.
Kedua, pengenaan pajak atas penghasilan terkait dengan transaksi elektronik yang dilakukan di Indonesia oleh SPLN yang tidak memiliki physical presence di tanah air. Selama ini, aturan pajak bagi mereka sama sekali tidak diatur. Tapi lewat RUU ini, Ditjen Pajak ingin definisi dari Badan Usaha Tetap (BUT) yang kena pajak, tidak hanya diukur lewat physical presence, tapi juga economic presence. Sementara, tarif dan dasar pengenaan pajak menyesuaikan dengan ketentuan pajak penghasilan.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak, estimasi total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri melalui wadah digital di Indonesia mencapai Rp 93 triliun pada tahun 2018. "Sekarang sangat sulit mengenakan pajak misalnya ada konsumsi jasa, yang menyediakan jasa berasal dari luar negeri, tidak ada di sini sama sekali. Sekarang (memungut pajak) dimungkinkan," kata Robert Pakpahan.
Apalagi berdasarkan studi dari Temasek dan Google, tahun 2025 konsumsi jasa dan barang tak berwujud di Indonesia diperkirakan melonjak mencapai Rp 277 triliun dengan potensi Pajak Pertambahan Nilai atau PPN mencapai Rp 27 triliun.
Melalui Rancangan Undang Undang atau RUU itu, pemerintah bisa menunjuk subyek pajak luar negeri baik itu pedagang, penyedia jasa atau platform luar negeri untuk menyetor pajak.
FAJAR PEBRIANTO