TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan telah menyiapkan aturan perpajakan baru agar bisa menarik pajak dari kegiatan bisnis perusahaan digital asing seperti Google, Facebook, hingga Netflix. Aturan ini ingin membuat definisi dari perusahaan yang kena pajak tidak hanya dari physical presence atau kehadiran fisiknya, tapi juga dari economic presence alias keuntungan ekonomi yang mereka peroleh dari konsumen di Indonesia.
"Kami memperluas definisinya," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan di Jakarta, Kamis, 5 September 2019. Selama ini, perusahaan-perusahaan tersebut memang belum sama sekali dikenai pajak atas bisnis yang mereka lakukan di Indonesia.
Rencana untuk memajaki Google cs ini pun dimuat dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang bersifat omnibus law atau membawahi regulasi lainnya. RUU ini akan dibahas sejalan dengan revisi UU PPN, UU PPh, maupun UU KUP.
Lebih lanjut, untuk bisa memajaki Google cs, pemerintah menyiapkan sejumlah aturan. Pertama, pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa. Selama ini, pemungutan dilakukan oleh konsumen di dalam negeri dengan Surat Setoran Pajak. Tapi lewat RUU ini, Dtijen Pajak meminta SPLN untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Mereka juga diminta untuk menunjuk perwakilan di Indonesia untuk memungut PPN atas nama mereka.
Kedua, pengenaan pajak atas penghasilan terkait dengan transaksi elektronik yang dilakukan di Indonesia oleh SPLN yang tidak memiliki physical presence di tanah air. Selama ini, aturan pajak bagi mereka sama sekali tidak diatur. Tapi lewat RUU ini, Ditjen Pajak ingin definisi dari Badan Usaha Tetap (BUT) yang kena pajak, tidak hanya diukur lewat physical presence, tapi juga economic presence. Sementara, tarif dan dasar pengenaan pajak menyesuaikan dengan ketentuan pajak penghasilan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menyebut RUU ini telah lebih dulu disiapkan saat adanya pembahasan di tingkat The Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD. Saat ini, kata Suahasil, OECD juga tengah menyiapkan kajian mengenai tata cara perpajakan antar negara tempat beroperasinya perusahaan digital.
"Sekarang bisnis semakin rumit, kadang perusahaan dari negara A, pemilik dari negara A, tapi jualan di negara B," kata dia. Untuk itulah, OECD menyiapkan kajian yang akan rampung beberapa bulan kedepan. Setelah rampung, maka Indonesia akan menyesuaikan beberapa atauran di negara anggota OECD jika memang disepakati.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak, estimasi total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri melalui wadah digital di Indonesia mencapai Rp 93 triliun pada tahun 2018.
"Sekarang sangat sulit mengenakan pajak misalnya ada konsumsi jasa, yang menyediakan jasa berasal dari luar negeri, tidak ada di sini sama sekali. Sekarang (memungut pajak) dimungkinkan," kata Robert Pakpahan.
Apalagi berdasarkan studi dari Temasek dan Google, tahun 2025 konsumsi jasa dan barang tak berwujud di Indonesia diperkirakan melonjak mencapai Rp 277 triliun dengan potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencapai Rp 27 triliun.
Dengan adanya revisi undang-undang salah satunya UU tentang PPN, ujar dia, maka negara akan mendapatkan pemasukan yang besar khususnya yang dikontribusikan dari konsumsi jasa digital.
Melalui Rancangan Undang Undang (RUU) itu, pemerintah bisa menunjuk subyek pajak luar negeri baik itu pedagang, penyedia jasa atau platform luar negeri untuk menyetor pajak.
"Kami akan ada mandat untuk menunjuk mereka sebagai pemungut, penyetor dan pelapor PPN," ujarnya.
FAJAR PEBRIANTO | ANTARA