TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM Ignasius Jonan meminta para kontraktor migas di tanah air dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas untuk melakukan efisiensi dalam memproduksi migas. Permintaan ini disampaikan Jonan agar produksi migas bisa tetap maksimal, di tengah ketidakpastian harga di tingkat global.
“Coba cari caralah,” kata dia dalam konferensi Indonesian Petroleum Association atau IPA di Jakarta Convention Center atau JCC, Jakarta, Rabu, 4 September 2019. Salah satu caranya yaitu dengan menggunakan teknologi yang terbaru sehingga biaya produksi bisa menjadi lebih rendah.
Jonan menyebut efisiensi adalah salah satu upaya yang masih bisa ditentukan oleh Indonesia bersama para kontraktor migas. Sebab, dari sisi harga, penentuannya ada pada mekanisme suplai dan permintaan di tingkat global. Selain itu, harga juga dipengaruhi oleh gejolak poltiik secara global.
Ia mencontohkan bagaimana harga minyak Brent yang pernah menyentuh level US$ 120 per barel. Namun kini, harganya hanya sekitar US$ 58 barel. Bagi Jonan, sangat sulit untuk kembali mengerek harga minyak menjadi di atas US$ 100 barel lagi. “Jadi ini tidak bisa kita prediksi, yang masih biasa itu ya efisiensi biaya,” kata dia.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan sejumlah langkah efisiensi dalam produksi migas telah disiapkan oleh lembaganya bersama para kontraktor migas. Pertama yaitu membangun sinergi antar kontraktor migas, terutama dalam hal open access mechanism. Kedua, SKK Migas bakal mendorong pengadaan barang bersama antar kontraktor. “Kalau beli sedikit kan mahal, lebih murah kalau beli banyak, jadi kami akan konsolidasikan kebutuhan kontraktor ini secara nasional,” kata dia.
Ketiga, kata dia, harus ada skema kontrak jangka panjang di lapangan-lapangan eksplorasi dan eksploitasi migas. Tujuannya, agar kontraktor bisa mendapatkan harga sewa yang lebih murah. Terakhir, kata dia, harus ada penerapan teknologi yang terbaru, Ia menggambarkan, selama ini ada gap 15 hingga 16 persen antara produksi dan lifting. “Jadi dari 100 persen yang diproduksi, hanya 85 persen yang di-lifting, karena 15 persen dipakai untuk kebutuhan sendiri, ini yang harus dikaji lagi,” kata dia.