TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan menyusun rancangan undang-undang (RUU) tentang perpajakan dan fasilitas perpajakan dalam rangka memperkuat ekonomi. Hal ini disepakati setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan sejumlah menteri menggelar rapat terbatas tentang 'Reformasi Perpajakan untuk Peningkatan Daya Saing Ekonomi' hari ini.
"RUU ini untuk menaikkan perekonomian Indonesia dalam bentuk meningkatkan pendanaan investasi, menyesuaikan prinsip income perpajakan bagi wajib pajak orang pribadi (WPOP) menggunakan azas teritorial, mendorong kepatuhan wajib pajak secara sukarela, menciptakan keadilan iklim usaha, dan menempatkan berbagai fasilitas perpajakan dalam satu perundang-undangan," katanya di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 3 September 2019.
Ia menjelaskan ada delapan poin penting dalam rencana pembuatan RUU ini. Pertama, pemerintah akan merevisi tiga undang-undang tentang pajak seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Kedua, kata Sri Mulyani, RUU baru ini bakal menghapus PPh atas deviden dari dalam negeri dan luar negeri. "Nah, dalam RUU kami sampaikan semua pajak PPH dividen dihapuskan apabila dividen itu ditanamkan dalam investasi di Indonesia," ujarnya.
Ketiga, pemerintah akan menerapkan perubahan rezim pajak dari global menjadi teritorial. "Artinya WNI atau WNA dia akan menjadi wajib pajak di Indonesia tergantung berapa lama tinggal, cut of date 183 hari, dan terhadap subyek pajak tersebut akan dikenakan rezim pajak teritorial," kata Sri Mulyani.
Keempat, kata Sri Mulyani, RUU ini bertujuan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Untuk mendorong hal ini pemerintah bakal meringankan sanksi bagi mereka yang kurang bayar saat melaporkan SPT. "Tujuan ini adalah bagaimana sanksi adminIsitrasi didesain ulang agar kepatuhan pajak jauh lebih mudah dan logis," ujarnya.
Sementara poin yang kelima, pemerintah bakal memberikan relaksasi kredit pajak. "Intinya berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, di dalam RUU ini sekarang bisa dikreditkan. Artinya dia boleh diklaim untuk kurangi kewajiban pajak,"
Adapun poin keenam, pemerintah akan menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan seperti tax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk kawasan ekonomi khusus, dan PPh untuk surat berharga nasional di pasar internasional dalam satu bagian. "Akan dimasukkan dalam RUU sehingga dia memiliki landasan hukum dan konsistensi dari landasan hukum dalam satu peraturan," ucapnya.
Ketujuh, lewat RUU ini pemerintah ingin mengenakan pajak bagi perusahaan digital internasional seperti Google, Amazon, yang selama ini tidak bisa dikukuhkan sebagai subyek pajak luar negeri. "Dengan RUU ini kami tetapkan bahwa mereka bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN," tuturnya.
Sedangkan poin terakhir, kata Sri Mulyani, dalam rangka merespon perkembangan ekonomi digital pemerintah mengubah definisi badan usaha tetap (BUT). Menurut dia, definisi BUT tidak lagi didasarkan pada kehadiran fisik berupa kantor cabang di Indonesia.