TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon mengatakan pemerintah harus merevisi lima undang-undang untuk memuluskan rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
"Kalau kita lihat di dalam keputusan pindah ibu kota ini, tentu membutuhkan proses politik yang panjang ditandai yang paling penting adalah persoalan payung hukumnya apa. Payung hukum ini cukup kompleks. Ada lima undang-undang yang harus direvisi," kata dia saat Seminar Menyoal Ibu Kota di Komplek DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa, 3 September 2019.
Kelima undang-undang yang menurut Fadli harus direvisi adalah Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Ibu Kota Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana, UU Nomor 3 Tahun 2002 Pertahanan Negara, UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
"Karena ini banyak nantinya, lima ini terkait minimal. Kemudian terkait dengan 4 undang-undang baru yang menyangkut nama daerah yang dipilih sebagai ibu kota, penataan ibu kota negara, penataan pertanahan. Sehingga ini masalah yang kompleks ke depan," katanya.
Fadli menilai pemindahan ibu kota tak tepat dilakukan. Sebab harus merevisi undang-undang yang cukup banyak, dan itu pasti akan melalui proses politik yang panjang karena harus lewat dewan legislatif.
Ia menambahkan, untuk saat ini Jakarta sebagai ibu kota merupakan kota penting, karena memiliki banyak memori pemerintahan. "Jadi kita melihat bahwa memori kolektif sebagai bangsa, banyak ada di Jakarta. Lahirnya pancasila, lahirnya Republik Indonesia, lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1950 kemudian yang lain lain. Ini menjadi sebuah ikatan," ungkap dia.
Fadli juga tidak menginginkan rencana pemindahan ibu kota negara yang dicanangkan Presiden Jokowi bakal bernasib sama seperti mobil nasional Esemka yang tak kunjung diproduksi secara massal. "Karena Esemka itu kalau kata Rocky Gerung sebuah causa prima, jadi ini akan kurang lebih bernasib sama," ujarnya.
Dia menilai skema pendanaan sebesar Rp 466 triliun untuk megaproyek tersebut juga belum jelas perencanaannya. "Skemanya seperti apa, Skema swasta dan BUMN seperti apa. BUMN aja rugi, kok. Swasta-nya mana, nanti asing lagi," ungkap Fadli Zon.
EKO WAHYUDI