TEMPO.CO, Jakarta - Ketua DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Jatim Makhrus Sholeh mengatakan sebanyak 2.500 unit rumah bersubsidi di Jawa Timur terancam mangkrak karena kuota fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) habis.
Makhrus mengatakan rumah sebanyak itu dibangun 200-an pengembang Apersi Jatim.
“Sebenarnya ada skema KPR lain pengganti FLPP, yakni Bantuan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2PT), namun juga tidak bisa direalisasikan karena terkendala persyaratan administrasi,” ujarnya di Malang, Senin 2 September 2019.
Padahal, menurut dia, kuota KPR dengan skema BP2PT masih banyak. Ada 6.000 unit rumah bersubsidi yang bisa direalisasikan KPR-nya lewat skema BP2PT. Namun pelaksanaannya, kata dia, BP2PT tidak bisa direalisasikan karena ada persyaratan tambahan, yakni adanya sertifikat laik fungsi (SLF).
Problemnya, tidak semua daerah di Jatim sudah ada perda terkait SLF. Hanya ada tiga daerah yang memiliki perda SLF antara lain Kota Malang.
Sebanyak 2.500 unit yang sudah selesai dibangun pengembang itu, berada Trenggalek, Kediri, Blitar, Malang, Jember, Lumajang, Probolinggo, Banyuwangi, Lamongan, dan beberapa daerah lain.
Beberapa bank, kata dia, sebenarnya menawarkan KPR untuk rumah bersubsidi dengan kredit komersial. Bahkan ada bank yang berani memberikan KPR sebesar 9 persen selama dua tahun.
Agar tidak berat bagi konsumen end-user, bank meminta pengembang menyubsidi bunga KPR sebesar 2 persen selama dua tahun sehingga konsumen tidak merasa berat. “Ini yang tidak bisa kami lakukan karena margin rumah bersubsidi itu tipis,” ucapnya.
Karena itulah, kata Makhrus, DPD Apersi Jatim akan menghadap ke Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa untuk menyampaikan keluhan tersebut. Pengembang, kata dia, meminta Gubernur untuk mencarikan solusi agar KPR untuk rumah bersubsidi tetap bisa cair sehingga kelangsungan usaha bisa terjamin.
Cara yang bisa ditempuh, Gubernur bisa mengajukan usul ke pemerintah pusat agar persyaratan pencairan KPR dengan skema BP2PT tidak disertakan adanya SLF. Cukup dengan penilaian dari konsultan seperti yang terjadi selama ini.
Makhrus ingin penghapusan ketentuan persyaratan SLF karena berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi. SLF juga berpotensi menjadikan pengurusan izin pembangunan rumah bersubsidi menjadi panjang.
Jika upaya meminta bantuan Gubernur tidak berhasil, Makhrus mengatakan, Apersi akan menghadap Presiden untuk menyampaikan keluhan tersebut.