TEMPO.CO, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Atas Air mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR bahwa pembahasan terkait Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air atau RUU SDA bukan bertujuan untuk mengkapitalisasi air. Perembukan beleid itu semestinya beriorientasi pada pemegang hak prioritas, yakni masyarakat.
“RUU SDA harusnya nomor kesekian bagi pengusaha,” ujar Staf Riset Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, Sigit Karyadi Budiono, dalam diskusi di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta Selatan, Minggu, 1 September 2019.
Sigit mengatakan ada tujuh prioritas penggunaan air yang saat ini dicatat koalisi. Tiga di antaranya ialah untuk kebutuhan air minum, kebutuhan pertanian rakyat, dan kebutuhan rumah tangga.
Sedangkan air minum dalam kemasan atau AMDK yang menjadi kebutuhan korporasi tidak tercatat dalam kebutuhan prioritas. Sigit mengatakan, meski sifatnya menyediakan air minum, perusahaan AMDK bukan tergolong dalam jaringan sistem penyedia air minum atau SPAM.
Masalah perembukan nasib pengusaha AMDK sempat dibahas dalam proses pembicaraan tingkat kedua RUU SDA di Komisi V DPR akhir Agustus lalu. Panitia Kerja RUU SDA sebelumnya telah memastikan bahwa swasta diperkenankan mengelola AMKD dengan penghitungan ulang terhadap penguasaan sumber air.
Alih-alih menyoal pengelolaan oleh swasta, Sigit mengatakan koalisi meminta substansi RUU SDA memperkuat layanan Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM. “Kalau swasta mau tetap berusaha sebenarnya enggak ada masalah. Kami juga enggak menentang swasta untuk mengusahakan. Tapi harus dilihat prioritasnya dulu,” ucapnya.
Merujuk keputusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya telah membatalkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Sigit mengatakan layanan PDAM merupakan kepanjangan tangan negara. PDAM semestinya berwewenang terhadap pengusahaan air untuk kebutuhan prioritas seperti yang tertuang dalam nota putusan MK.