TEMPO.CO, Jakarta – Koalisi masyarakat sipil menolak pengesahan Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air atau RUU SDA yang saat ini tengah dirembuk di Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat. Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana, mengatakan ada empat hal dalam poin-poin RUU SDA yang berpotensi cacat.
Pertama, WALHI menilai bahwa secara keseluruhan, perancangan beleid masih menggunakan pendekatan komoditas. Pendekatan itu dikhawatirkan menimbulkan kemungkinan kapitalisasi air oleh swasta.
“Rancangan undang-undang tidak boleh secara parsial hanya bicara soal perusahaan,” ujar Wahyu dalam diskusi seputar RUU SDA di kantor WALHI, Jakarta Selatan, Ahad, 1 September 2019.
Wahyu mengatakan, termin ini hanya sedikit dipakai oleh negara-negara di dunia. Misalnya Afrika dan sejumlah negara bagian di Amerika. Menurut Wahyu, regulasi menyangkut sumber daya air tidak boleh parsial, melainkan mesti simultan atau menyeluruh lantaran menyangkut hajat hidup seluruh penduduk.
Kedua, prinsip perancangan RUU SDA semestinya mengadopsi Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PPLH Tahun 2009. Sebab, dalam RUU, naskah beleid yang dirembuk di Komisi V telah menyangkut hukum lingkungan hidup.
“Ketiga, soal nomenklatur kementerian atau lembaga yang mengurusi tentang SDA itu,” ucap Wahyu. Menurut dia, sampai saat ini, pembahasan RUU SDA belum spesifik membahas kewenangan kementerian atau lembaga terkait pengelolaan air. Bila tidak diatur, ke depan sejumlah kementerian dan lembaga akan tumpang-tindih dalam melaksanakan aturan.
Ia memisalkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bakal bersinggungan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR dan Kementerian Pertanian. Karena itu, ujar Wahyu, WALHI mengusulkan pemerintah membuat kementerian atau lembaga yang mengurus soal air. Bisa juga menebalkan wewenang lembaga atau badan koordinasi yang mengurusi air. “Sekarang ada dewan air tapi enggak pernah punya wewenang. Itu menjadi problem ketika dibentuk tapi enggak diberi wewenang,” ujarnya.
Poin terakhir, undang-undang yang dirancang mesti memuat review dan audit terhadap izin atau konsesi yang telah dikeluarkan. Selain WALHI, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI turut menyoroti RUU SDA.
Wakil Ketua Umum Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari mengatakan ada potensi penyimpangan prinsip pengelolaan air dalam naskah akademis RUU. Ia menilai RUU tidak memuat pasal yang menyinggung soal kewajiban pemegang usaha atau pemegang izin industri. Seluruh kewajiban pengelolaan SDA ditumpukan kepada masyarakat di sekitar kawasan lahan.
Selain itu, ada potensi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat di daerah konservasi. Penambahan Pasal 33 dalam RUU SDA yang isinya melarang penggunaan sumber daya air di daerah konservasi dapat menyebabkan masyarakat adat dikeluarkan dari tempatnya saat ini. “RUU menafsirkan (pengaturan) masyarakat adat di sepanjang kawasan (SDA) ditetapkan dengan peraturan daerah. Ini pemahaman yang keliru,”ujarnya.
Terakhir, YLBHI menyoroti ada 19 urusan yang pengaturannya diserahkan dalam beleid turunan melalui peraturan pemerintah. “Padahal hal-hal krusial yang penting mesti tuntas di undang-undang,” tuturnya.
RUU SDA dirancang setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU SDA No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. MK kala itu memberi enam sorotan pembatasan terhadap pengelolaan air. Menurut Era, dalam perancangan RUU saat ini, enam hal yang disinggung MK terkesan telah diakomodasi, namun bila disangkutkan dengan beleid lain, banyak pasal yang sejtinya mengabaikan kepentingan masyarakat.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA